Ponsel di dalam tasku berbunyi. Buru-buru kuseka lelehan hangat yang membasahi pipi itu kasar. Alisku bertaut saat ponsel sudah berada dalam genggamanku. Nama “Abang” muncul di layar.
Kenapa dia nelepon aku?
Aku menggeser tanda hijau ke atas.
“Tadi, kamu ke kantor?” Pertanyaan itu langsung menyerbuku setelah aku mengucapkan salam. Bahkan, dia baru menjawab salam setelah bertanya.
“Dari mana Abang tahu kalau aku ke kantor?” Mungkin Shenina yang memberitahunya. Biarpun sudah tahu jawabannya, tidak ada salahnya aku bertanya lagi. Sekadar mengecek bagaimana dia nanti akan menjawabnya.
“Tadi, Ghandi sempat melihatmu naik taksi di depan kantor.”
Aku terkejut. Ternyata bukan Shenina yang memberitahunya. Tentu saja dia tidak akan mengatakannya pada Arion, apalagi sampai menjelaskan, aku ke kantor membawa bekal makan siang.
“Terus kenapa kamu nggak jadi ke kantor?” Arion kembali bertanya.
“Tadi, kan, Abang lagi nggak ada di kantor. Makanya, aku balik lagi,” kataku pelan. Berusaha membuat nada suara sebiasa mungkin agar tidak terdengar seperti menahan tangis.
“Kata siapa aku nggak ada di kantor? Dari tadi aku malah belum keluar sama sekali, kecuali pas shalat di mushola kantor.” 5
Aku menegakkan tubuh. Mataku menajam mendengar penuturannya ini. “Jadi, Abang nggak keluar kantor?” tanyaku memastikan lagi.
“Hm.”
Aku tergemap. Jadi, Shenina membohongiku? Kenapa Shenina yang kukenal begitu anggun itu sampai berkata bohong kepadaku? Apa keberadaanku di sisi Arion benar-benar mengancam posisinya?
Aku menahan geram.
“Ta? Kamu masih di situ, kan?”
Suara Arion mengalihkan kekesalanku pada Shenina. Kini rasa kesal itu terganti dengan senyum semringah.
“Abang!” Saking girangnya, suaraku terdengar lebih keras. “Abang belum makan siang, kan?”
“Belum. Tapi, tadi Ghandi mau belikan sekalian.”
“Kalau gitu bilang sama Bang Ghandi nggak usah pesenin.”
“Memangnya kenapa?”
“Pokoknya Abang tunggu aku.”
Aku segera mengakhiri telepon setelah mengucap salam. Senyumku yang sedari tadi terbit tiba-tiba melenyap setelah menyadari sesuatu.
Kutepuk keningku berulangkali. Baru saja aku berbicara soal ikhlas. Dan sekarang Allah mengujiku lagi. Ternyata sulit bagiku menganggap ikhlas itu seperti buang air besar di sungai seperti kata Papa.
“Kenapa, Mbak?”
Aku melirik pada sopir. Pria paruh baya itu tengah menatapku lewat kaca tengah.
Aku meringis. Lalu, mengerling pada lunch bag yang berada di jok sebelahnya. “Hm ....” Aku bingung harus menjawab apa. Tidak mungkin makanan yang sudah kuberikan kepadanya kuminta lagi.
Tapi, kalau nggak kuminta, gimana aku mau ngasih makan siang ke Abang? Kalau kubelikan, kan nggak jadi spesial?
Aku semakin galau.
“Tadi kalau saya nggak salah dengar, abangnya mbak ada di kantor, ya? Berarti mbak bisa kasihin kotak makan itu sama dia dong?”
Aku nyengir. “Iya, tapi kan—”
“Itu milik mbak. Silakan ambil lagi. Kasihin sama dia, ya. Dia pasti seneng dimasakin sama mbak untuk pertama kalinya.”
“Bapak ... hm ... beneran nggak apa-apa kalau makanannya saya ambil lagi?” tanyaku hati-hati. Aku merasa tidak enak hati jika makanan itu harus kuambil lagi. 1
Dia malah tertawa. “Justru saya yang malah nggak enak kalau makanan itu saya makan, Mbak. Padahal mau dikasihin sama dia, kan?” 1
Aku menggigit bibir pelan. Masih ragu jika makanan itu kuambil kembali. Aku pun mulai memikirkan solusinya. Senyum kembali terulas ketika kutemukan solusi yang terbaik.
“Pak? Hm ... karena makan siang yang mau saya kasih ke seseorang tadi saya berikan ke bapak. Biar saya juga lebih tenang menerimanya, gimana kalau saya beli saja makanan itu?”
“Lho, kok malah dibeli sih, Mbak?” Bapak itu menoleh setelah taksi berhenti tepat di lampu merah.
“Nggak apa-apa, Pak.”
“Jangan gitu dong, Mbak. Itu kan tetep punya mbak.”
Aku tak menghiraukan penolakan sopir taksi itu. Segera kuambil uang dari dalam dompet. Uang cash yang kupunya hanya empat lembar seratus ribuan. Terpaksa kusisakan seratus ribu untuk membayar ongkos taksi.
“Maaf, Pak. Uang yang saya punya tinggal ini. Saya harap bapak mau menerimanya,” kataku seraya menyodorkan tiga lembar uang bergambar Soekarno-Hatta itu kepadanya.
“Nggak usah, Mbak. Ini terlalu kebanyakan, lha wong itu juga punya mbak sendiri. Saya cukup dibayar ongkos taksinya saja.”
Meskipun terus menolak, aku tetap saja memaksa agar mau menerimanya. Senyumku terkembang ketika uang itu akhirnya diterima dengan ucapan terima kasih. Lunch bag biru laut itu pun kembali dalam pangkuanku.
“Kalau gitu, kita balik ke tempat yang tadi ya, Pak.” Nada suaraku terdengar kegirangan sekali. Padahal saat memberikan lunch bag kepadanya beberapa menit yang lalu, tenggorokanku serasa dijejali biji kedondong.
Shenina. Baiknya, harus kuapakan perempuan itu? 4
***
“Ini ... yang masak kamu semua?”
Arion tampak keheranan ketika aku membuka lunch box dua susun berwarna biru laut itu dan menaruhnya di atas meja. Mungkin dia heran denganku yang bisa menyelesaikan tiga masakan sekaligus, padahal pernah gagal memecah telur.
“Tapi, harap maklum juga kalau tampilannya kurang menarik,” ucapku diikuti dengan ringisan malu. Setelah kuamati lagi, ternyata bentuk potongan buncis banyak yang tidak beraturan. Tempe katsu juga terlihat lebih kecokelatan. Secara tampilan, mungkin nilaiku hanya dapat empat.
Arion tersenyum kecil. “Nggak masalah kalau tampilannya kurang menarik. Justru aku yang merasa berterima kasih sekali karena kamu sudah susah-susah bikin sampai mau nganterin ke sini,” ungkapnya seraya menatapku.
Kubalas tatapannya dengan senyum yang simpul. Sekadar diucap terima kasih saja serasa menghangatkan hatiku, apalagi jika Arion sampai memuji masakanku. Tapi, tetap saja aku kurang percaya diri dengan hasil masakanku sendiri.
“Aku harap, Abang bisa maklum karena masakanku tetap saja nggak seenak makanan buatan Abang.”
Senyum Arion terkembang lagi. “Namanya juga masih belajar. Butuh proses, kan?”
Arion masih memandangku dengan senyum yang mengembang. Mengingat senyum itu membuatku terpaku sesaat. Kedua sudut bibir yang tertarik membentuk sebuah lengkungan itu juga diperlihatkan saat dia tengah berfoto di sebelah Shenina.
Melihat senyum itu membuatku menyadari satu hal. Satu hal yang selalu luput dari perhatianku. Senyum seperti itu juga beberapa kali ditunjukkan Arion saat tengah bersamaku. Setelah kami tinggal bersama, Arion sudah biasa memasang senyum beraneka ragam. Mulai dari yang tipis hingga lebar kepadaku. Dia pun terkadang akan tertawa pelan ketika tak sengaja melihat tingkah konyolku.
Lalu, kenapa saat foto pernikahan waktu itu dia selalu memasang senyum tipis? 4
Saat menyadari Arion akan mengambil sendiri makan siangnya, aku cepat-cepat menahannya. “Biar kuambilin, Bang.” Kotak makan pertama hanya kuisi dengan nasi sesuai porsinya. Sementara lauk, sayur dan potongan buah ada di kotak makan kedua. Sebagai istri, aku tidak mungkin membiarkannya mengambil makanan sendiri.
“Kok yang dibawa cuman segini? Memang kamu sudah makan tadi?” tanyanya saat aku menyerahkan kotak nasi yang sudah terisi lauk dan sayuran.
Aku hanya mengangguk kecil. Rasanya aneh jika ada seorang pemula yang nekat memasak tanpa dicicipi lebih dulu. Aku tidak sekonyol tokoh dalam novel yang oleh pengarangnya selalu dibuat adegan klise di mana sang tokoh pria langsung memuntahkan makanannya, bahkan sampai ada yang masuk IGD. 2
Tak cukup mencicipi, aku bahkan sampai harus makan duluan. Setidaknya, makanan itu sudah kupastikan aman dan layak untuk dimakan. Ya, meskipun rasanya tidak selezat buatan Arion, Mama ataupun Ibu.
Ujung bibir bawah ini kugigit pelan saat dia mulai menyuap. Aku menunggu dengan cemas bagaimana komentarnya ketika dia menyantap masakanku. Beberapa detik menunggu. Namun, yang ditunggu justru tak kunjung bersuara. Seakan tak paham jika aku tengah menanti komentarnya, dia malah kembali menyuap untuk kali kedua.
“Gi-gimana?” Pada suapan ketiga aku tak sabar untuk menunggu komentarnya.
Arion menoleh. “Gimana apanya?”
Aku mendadak sedikit kesal. “Komentarnya Abang.”
Dia tersenyum kecil. “Nanti dulu, biar kuhabiskan semua baru bisa komentar.” Saat hendak menyuap lagi, tangannya tertahan sebentar, lalu meletakkan kembali sendok yang sudah terisi nasi itu ke kotak makan. “Tadi, kamu beneran sudah makan?” tanyanya seraya menatapku.
Aku mengangguk.
“Tapi, tadi kamu sampai balik ke sini lagi. Lebih baik makan lagi saja.” Dia terdiam sejenak. Raut mukanya itu tampak ragu mengatakan sesuatu. “Kamu ... hm ... nggak apa-apa kalau kita ... makan dengan sendok yang sama?”
Aku tercenung. Sendok yang sama? Maksudnya dia mau nyuapin aku?
Mataku mengikuti arah gerakan tangannya yang menggeser kotak makan tepat di depanku.
“Kamu bisa makan dulu, Ta. Nanti aku makan sehabis kamu.” 1
Aku yakin pipiku saat ini merah padam karena mengira dia akan menyuapiku. Tanpa pikir panjang, aku menggeser kembali kotak makan itu. “Aku udah kenyang, kok. Abang saja yang makan,” kataku tanpa melihatnya. Mau ditaruh di mana mukaku jika dia menyadari wajah merah padamku karena mengira aku akan disuapinya. 1
“Beneran sudah kenyang?”
Aku mengangguk. Lagi-lagi tanpa berani menatap ke arahnya. Dari ekor mataku, Arion kembali menyantap makanannya lagi. Sampai beberapa waktu kemudian, saat aku meliriknya, dia sudah menandaskannya tak bersisa.
“Sekarang, kamu mau dengar gimana komentarku, kan?”
Aku menelan ludah, menunggu cemas. Arion meraih binder warna hitam dan pulpen yang ada di atas meja, lalu mulai menulis sesuatu. Aku berusaha melirik. Namun, terhalangi oleh sebelah tangannya. Tak lama kemudian, Arion menarik secarik kertas itu, lalu menyerahkan kepadaku.
Sejenak aku tertegun. Pada secarik kertas itu Arion menulis “Rapor untuk Lovita Andirani” di bagian atas. Di bawahnya, Arion menggambar kotak makan yang berisi nasi, tumis buncis udang, telur gulung sosis dan tempe katsu. Nilai 80 yang ditulis besar dengan dilingkari ada di bagian bawah kotak makan, lengkap dengan gambar satu jempol dan kepalan tangan tanda semangat. Terakhir, di bagian pojok kanan paling bawah, tidak ketinggalan ada nama Arion Adhitama sebagai guru yang memberi nilai.
Aku menoleh kepadanya. “Ini ...?” Pasti raut mukaku masih menyisakan keterkejutan di sana.
“Rapor untukmu. Aku lebih suka memberimu rapor biar kamu lebih semangat lagi.” 1
Hatiku mencelus. Meskipun hasil masakanku belum selezat buatannya, tapi dia tahu bagaimana cara agar pemula sepertiku tidak patah semangat.
“Tapi, aku harus realistis dengan nilainya. Seratus itu terlalu berlebihan. Kuharap dengan nilai itu, kamu lebih semangat lagi nanti.”
Aku tersenyum simpul. “Justru malah nggak meyakinkan kalau Abang kasih aku nilai seratus,” sungutku kemudian.
Ario hanya membalas dengan tawa pelan.
“Nanti kita pulang bareng saja, ya? Mungkin habis Ashar, aku bisa pulang lebih awal. Kamu nunggu di sini dulu nggak apa-apa, kan?”
“Memangnya boleh?”
Lagi-lagi Arion tertawa pelan. “Tentu saja boleh. Toh, kamu juga di ruanganku sendiri, kan? Malah aku yang khawatir kalau kamu bosen nunggu aku di sini.”
Aku menggeleng kuat. “Nggak bakal bosen kalau aku nunggu Abang. Aku bawa novel,” terangku seraya menunjuk novel yang ada di dalam tas dengan tangan kiriku.
Mata Arion tampak menyipit. Aku seperti mengerti arah pandangannya. Diraihnya tangan kiriku. “Ini ... kenapa?” Ibu jari Arion mengusap pangkal ibu jariku tanpa menyentuh bekas memerah yang masih kentara di sana. “Ini ... juga?” Kali ini Arion menyentuh ujung jari telunjukku yang terbalut plester.
Aku meringis malu. “Ya, gitulah, Bang. Namanya juga masih belajar, kan?”
Arion menatapku lekat. Lorong dari manik hitam kecokelatan itu seakan menyiratkan kekhawatiran di dalamnya. 1
Aku mulai didera gelisah. “Abang ... nggak akan kayak Mama yang ngelarang aku masak di dapur, kan? Aku tahu, aku emang ceroboh. Tapi, gimana aku mau bisa kalau orang-orang di sekitarku justru nggak ngasih kesempatan biar aku bisa maju?”
Mataku rasanya sudah memanas. Keluargaku memang begitu peduli kepadaku. Mereka tidak pernah menyebutku bodoh seperti ibu-ibu tetangga komplek dan teman-teman sekolahku. Tapi, kekhawatiran mereka yang terlalu berlebihan—karena kecerobohan yang terkadang membahayakanku—justru malah membatasiku.
Arion bergeming. Dia masih menatapku lekat. Sorot matanya kini terlihat lebih sendu. Lama terdiam, Arion kembali bersuara, “Biar aku ambilin obat dulu. Sepertinya aku punya salep lidah buaya di kotak P3K.”
Lelaki itu berjingkat menuju kotak P3K yang berada di sisi kiri ruangan. Tak lama kemudian, dia kembali mendekatiku.
Aku hanya termangu saat dia mengolesi luka memerah itu begitu lembut dan pelan. “Lain kali hati-hati. Kalau kamu fokus, aku yakin nggak sampai kayak gini lagi,” katanya sembari menutup salep lidah buaya itu.
“Abang ... ngijinin aku masak lagi?” Aku terkejut dengan yang dikatakannya. Kupikir, dia akan melarangku seperti yang dilakukan Mama.
“Bukannya katamu, gimana kamu mau maju kalau orang-orang di sekitarmu nggak memberi kesempatan? Aku memilih menjadi orang terdekatmu yang menjadi pengecualian. Aku memilih memberimu kesempatan karena aku yakin kamu bisa melakukannya.” 1
Aku tertegun.
Dia orang pertama yang mengatakan itu kepadaku.
Rasanya ada banyak hal yang tidak kumengerti tentang dia. Dan aku melewatkannya begitu saja karena terlalu banyak berasumsi sendiri.
“Mana rapormu tadi?”
Aku masih bergeming. Arion mengambil secarik kertas yang dinamai rapor itu dari pangkuanku. Lalu, dia mulai menulis entah apa lagi. Beberapa detik kemudian, dia menyodorkan kertas itu kepadaku.
“Aku tadi lupa belum memberimu bintang. Semoga lima bintang bisa membuatmu tambah semangat lagi.” 1
Mataku terpaku pada lima bintang yang ditebalkan di bawah nilai 80. Lama terpaku, aku kembali menatap ke arahnya. Saat ini, Arion tengah tersenyum kepadaku. Senyumnya begitu lebar. Lebih lebar dari senyumnya saat berfoto di sebelah Shenina saat itu. Barisan gigi putihnya yang rapi sampai terlihat. Melihat senyum itu, perlahan-lahan, kedua sudut bibirku pun ikut terangkat. Kami bertatapan lama dengan senyum yang terbit secerah mentari pagi.
Aku berusaha menyelami sorot mata yang begitu meneduhkan itu. Benar. Ada banyak hal yang tidak kumengerti tentang dia. Termasuk di balik sorot matanya yang terasa menentramkan itu.
Satu pelajaran yang bisa kupetik hari ini, rasanya aku tak perlu mempertanyakan alasan kenapa dia menikahiku. Entah apa alasannya, kini kami sudah berada dalam sebuah ikatan yang suci bernama pernikahan. Dan sudah seharusnya, kami yang berada di dalamnya harus saling menguatkan agar rumah tangga yang terbangun tidak mudah goyah. Bagaimana rumah tangga yang terbangun akan kuat bertahan jika salah satu pihak justru sibuk berasumsi sendiri?
Suara deheman seseorang membuyarkan perhatian kami. Kepalaku reflek menoleh kepadanya. Sesosok laki-laki muda yang mengenakan kaus hitam lengan panjang berdiri tepat di ambang pintu yang terbuka. Meski memakai baju santai, aku tahu dia juga bagian dari KelasSeru.
Kantor Arion memang bukan seperti kantor kebanyakan yang mengharuskan para pekerjanya berpakaian formal. Sepertinya Arion membebaskan semua karyawannya berpakaian sesuai nyamannya mereka sepanjang masih sopan. Kecuali Arion. Lelaki itu mungkin lebih nyaman ke kantor dengan kemeja lengan panjang yang digulung, lengkap dengan setelan celana bahan dan juga ikat pinggang. Masih khas pekerja kantor, meskipun tidak sampai mengenakan dasi.
“Sorry, gue terpaksa ganggu. Udah telanjur buka pintu, gue nggak mungkin langsung pergi begitu aja, kan?” Ghandi yang berdiri di bibir pintu menyeringai. Dia menunjuk plastik tembus pandang yang berisi box makanan. “Tadinya gue mau nganterin ini. Eh, nggak tahunya udah ada si pengantar spesial yang ngirim makanan. Ya, udah, sih. Gue bisa kasihin ini sama yang lain.”
Aku tidak terlalu mengenal Ghandi. Yang kutahu, dia adalah sahabat dekat Arion sejak masih duduk di bangku SMA.
Ghandi menunjuk gagang pintu dengan sebelah tangannya yang bebas. “Gue tutup pintunya, ya? Biar kalian bisa ngelanjutin sesuatu yang mungkin tertunda pas gue tiba-tiba berdehem tadi.” Ghandi terkekeh seiring dengan pintu yang menutup.
Kecanggungan seketika menghinggapi. Kata-kata yang diucap Ghandi barusan seakan membekukan udara di sekitar kami. Lama dalam keheningan yang kikuk, aku mengalihkannya dengan mengambil sebuah novel dari dalam tas, lalu pura-pura membacanya. Sementara Arion bergegas menuju meja kerja, kembali berkutat dengan laptopnya.
Memangnya yang mau dilanjutkan apa coba? 1
***
Mentang-mentang punya KelasSeru, suruh ngomentarin masakan Lovita, malah dikasih rapor. Wkwkwk.
Ada yang mau ngegambar rapor yang dibuat Arion, nggak? Mention IG saya @isnaini.ibiz, yang paling bagus dan sesuai imajinasi saya, nanti bakalan ditampilkan di sini. 6
Terakhir, cuma mau pesen. Jadi, pembaca yang manis, ya. Saya bilang semoga bukan berarti besok langsung update. Bisa jadi ada halangannya. Mana setelah eksekusi ternyata jauh lebih panjang dari yang dikira. Ini sampai 2300-an kata lho. 😊 11