Tujuh (1) Not a Dreaming Marriage (Completed)

Sudah kuputuskan: aku ingin mengambil hati Arion!

Katakan aku terlalu receh. Hanya karena tidur berbantal lengan Arion, aku malah berkeinginan menjadikan lengan itu sebagai bantal seumur hidupku. Hanya aku yang boleh—dan selalu—mengisi di sana. Tidak ada yang lain. Entah Shenina atau nama lainnya.

Bukannya aku terlalu posesif. Bagiku, memperjuangkan sosok yang sudah menghuni hati dan telah halal untukku adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi. Jika aku terlalu pasrah dengan keadaan, lelaki halalku bisa saja berpaling, bahkan sampai terjerumus pada sesuatu yang dilarang Islam, bukan?

Setelah dipikir-pikir, aku terlalu banyak berasumsi yang belum jelas. Arion memang tidak mencintaiku. Tetapi, sikap dan perhatiannya selama ini seakan membantah persepsiku tentang dia. Arion tidak seperti tokoh pria dalam novel bertema perjodohan yang terlalu mainstream itu. Dia tidak bersikap cuek denganku. Kami juga tidak sampai tidur di kamar yang terpisah.

Sepertinya hanya otakku saja yang terlalu banyak dipenuhi cerita-cerita dalam novel bertema pasaran itu. 1

“Tolong ajarin aku masak, Vin.” Siang ini, aku memelas di depan Davina. Dia memang selalu berada di kafenya saat tidak ada tugas jaga di IGD.

Perempuan itu malah bertopang dagu seraya menatapku lekat-lekat. Dia terdiam sebentar. Dari raut mukanya tampak memikirkan sesuatu. “Yakin mau belajar masak, Ta?”

Aku mendesah pelan. Rupanya, Davina juga meragukanku saat ada di dapur. Seperti Mama dan ketiga kakakku.

“Bukannya aku ngeraguin kamu, Ta.” Davina seperti membaca pikiranku. “Aku cuman khawatir kalau nanti kamu kenapa-kenapa lagi. Untung waktu itu aku cepet balik ke dapur, coba kalau nggak?”

Ya, aku yang payah ini hampir membuat dapur kesayangan mamanya itu kebakaran. Saat itu, aku berniat belajar memasak dengan Davina. Namun, naas. Akibat kecerobohanku, kain cempal yang kuletakkan di dekat tungku kompor terbakar. Karena terlalu panik, aku malah berusaha memadamkannya dengan kain serbet. Beruntung Davina yang keluar sebentar untuk mengangkat telepon segera kembali ke dapur. Saat itu, dia terkesiap melihat api menjilat kain cempal dan serbet sekaligus. Dengan sigap, diambilnya sebaskom air dari wastafel, lalu ditumpahkannya pada jilatan si jago merah hingga tak bersisa. Api berhasil dipadamkan kemudian. Namun, kami tetap saja berakhir dimarahi mamanya karena kompor gas yang baru dibeli itu tak bisa menyala lagi lantaran kemasukan air.

Davina masih memandangku lekat. Sebelah alisnya terangkat. “Bukannya Bang Arion selalu bikinin sarapan buat kamu, Ta? Kenapa nggak minta dia aja yang ngajarin? Malah nanti romantis, kan? Belajarnya bisa sambil dipeluk dari belakang.”

Aku memutar bola mata ke atas. “Aku baru tahu. Dokter ternyata bisa ikutan halu juga.”

“Kalau aku jadi halu, kira-kira ketularan siapa coba?”

Aku berdecak kesal. “Ikhlas nggak sih, ngajarin aku masak?”

“Gimana mau ikhlas? Bilang iya aja belum?”

Aku mendelik. Davina tertawa kecil. Ada sorot geli di balik mata cokelat kehitaman itu. “Iya, deh. Demi sohib yang pengin jadi istri sempurna, apa sih yang nggak buat dia?”

Aku lagi-lagi memutar bola mata ke atas. Sejurus kemudian, tawaku ikut berderai pelan.

Ya, kuharap kelihaian Davina di dapur itu bisa menular kepadaku. Ada pepatah mengatakan, cinta berawal dari perut naik ke hati. Kuharap, melalui makanan, hati Arion pelan-pelan akan terbuka untukku. Lalu, seiring perjalanan waktu, namaku akan mengisi penuh hatinya hingga tak ada Shenina yang ikut berdesakan di dalamnya.

Ponsel Davina yang diletakkan di meja bergetar. Ketika melihat ke layar, dia mendesah pelan. “Modus lagi,” gumamnya yang masih bisa kudengar.

“Kenapa?”

[EXTRACT]

Dia mengedikkan bahunya, lalu menyeruput jus strawberry.

“Dokter Rio?” tebakku kemudian. Dokter spesialis obgyn yang bekerja di rumah sakit yang sama dengan Davina itu memang sering mengirimi pesan-pesan instan yang—amat—tidak penting—tapi seolah penting itu—kepada Davina. Terkadang dia menanyakan resep makanan, bahkan sampai cara mengatasi demam saat keponakannya lagi sakit pun ditanyakan. Padahal dia sendiri juga dokter. 2

“Kenapa lagi dia? Apa keponakannya sakit lagi? Mungkin nanya gimana ngatasin diare biar cepet mampet?”

Davina melirikku kesal. “Plis deh, Ta.”

Aku terkekeh. “Habisnya, kamu dimodusin kayak apa nggak pernah ditanggepin sih.”

“Aku nggak kepikiran punya suami sama-sama dokter.” 1

“Nggak kepikiran kalau Allah jodohin kamu sama dia gimana?”

Davina menatapku sebentar. “Umurnya udah 32 tahun, Ta. Aku pengin yang masih di bawah kepala tiga. Biar selisihnya nggak jauh.”

“Jadi, kamu nggak suka sama dia cuman gara-gara dia dokter dan udah berkepala tiga? Kok, kedengerannya kayak bukan Davina banget.”

Ya, kupikir dia tidak menyukai dokter Rio karena pesan-pesan recehnya itu. Bukan karena umur ataupun profesinya yang sama-sama dokter. “Jangan terlalu benci, Vin. Entar malah nyantol.”

***

Aku mendongak memandang takjub pada gedung berlantai lima di depanku. Sepanjang gedung, cat putih mendominasi. Di tengahnya ada dinding kaca besar yang terbingkai dengan cat warna biru. Logo KelasSeru berwarna hijau lumut menempel angkuh di sisi kanan gedung. Di sebelah kiri gedung, ada sebuah jembatan yang menghubungkan dengan gedung berikutnya. Gedung kedua itu berukuran lebih kecil dan hanya terdiri dari tiga lantai.

Kantor milik Arion memang bukan seperti kantor dengan gedung menjulang tinggi berlantai puluhan seperti cerita dalam CEO-CEO di drama Korea. Pun begitu, aku sudah sangat bangga dengannya.

Kantor ini adalah bukti nyata dari hasil kerja kerasnya. Dia membangunnya dua tahun lalu, dan baru ditempati setahun kemudian. Kata Ibu, di awal KelasSeru berdiri, Arion hanya menyewa ruko kecil di dekat rumah. Setelah berbulan-bulan berlalu, KelasSeru mulai berkembang dan dikenal luas. Jumlah karyawan pun semakin bertambah. Arion lantas menyewa dua lantai sekaligus di salah satu gedung perkantoran di kawasan Sudirman, sebelum akhirnya bisa menempati kantornya sendiri setahun lalu.

Mataku melirik pada lunch bag motif polkadot warna biru laut. Di dalamnya, ada sebuah lunch box dua susun yang berisi makan siang hasil masakanku.

Kedua sudut bibirku terangkat tipis. Berkat belajar memasak dengan Davina selama tiga hari, pada hari keempat aku bertekad untuk eksekusi sendiri. Setelah berkutat di dapur selama empat jam—jangan lupakan kondisi dapur yang berantakan—aku akhirnya berhasil menyelesaikan tiga masakan sekaligus. Ada tumis buncis udang, telur dadar gulung sosis, dan tempe katsu. Resep hasil ubek-ubek dari Instagram.

Arion lebih suka makanan sederhana. Makanya, aku tidak mencari resep ala resto atau kafe yang lagi happening.

“Lovita?”

Langkahku terhenti saat hendak memasuki lobi. Perempuan yang mengenakan midi dress di bawah lutut berwarna grey itu baru saja keluar dari pintu lobi. Rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai dan ditata bergelombang di bagian bawah. Dia terlihat tinggi nan ramping dengan tali ikat pinggang dan heels tujuh senti berwarna silver. 1

Aku tersenyum canggung. Kami berdiri saling berhadapan. Seharusnya aku bisa menaikkan dagu ke atas, tegak berpijak pada lantai ini dengan penuh percaya diri. Papa selalu memotivasiku dengan ayat*, janganlah merasa lemah jika kamu termasuk orang yang beriman, tiap kali teman-teman di sekolah menyebutku bodoh saat masih SD dulu. Ayat itu yang membuatku kuat meskipun mereka terus-terusan mengataiku si bodoh. Tapi, entah mengapa, rasa percaya diriku itu seakan terkikis ketika berhadapan dengan perempuan yang ada di hati suamiku.

[EXTRACT]

Aku pelan-pelan menyembunyikan lunch bag yang kutenteng ke belakang tubuh. Seakan sadar akan pergerakan tanganku, mata Shenina melirik ke bawah. Sebelum lunch bag ini berada di balik tubuhku, sepertinya dia sempat melihatnya.

Perempuan itu lantas tersenyum kecil. “Apa kamu ke sini nyariin Abang?” 2

Aku tertegun. Bukan pada pertanyaan basa-basinya yang dia sendiri tahu jawabannya. Tentu saja aku ke sini mencari Arion. Memangnya siapa lagi yang ingin kutemui di tempat yang asing seperti ini selain suamiku sendiri? Tapi, bukan itu yang membuatku terpaku.

Kenapa dia juga memanggil Arion dengan sebutan “Abang”?

Ada rasa tak rela ketika panggilan itu juga digunakan olehnya untuk menyebut Arion.

“Apa kamu nggak telpon Abang sebelumnya?”

Aku menggeleng pelan. Sedang dia tersenyum lagi. Meskipun senyumnya terlihat tulus, entah mengapa aku merasa di balik senyumnya yang anggun itu ada sinis yang tersirat. Mungkin aku yang berlebihan karena terlalu terbawa perasaan hingga mengartikan senyum yang biasa itu tampak sinis di mataku. 

“Abang lagi nggak ada di kantornya.”

“A-abang ... lagi nggak ada di kantor?” ulangku balik bertanya.

Shenina mengangguk. “Ini aku juga mau nyusul Abang. Kami ada lunch meeting dengan klien di luar. Apa kamu mau ikut sekalian?”

Aku tertegun sejenak, lalu menggeleng berulang kali. “Nggak usah, Shen.”

Apa tanggapan Arion jika aku nekat menyusulnya ketika dia tengah meeting dengan klien? Mungkin dia akan menganggapku istri penganggu. Apalagi ada Shenina yang juga bersamanya.

Shenina melirik arloji di tangannya. “Maaf, aku buru-buru, Ta. Aku pergi dulu.”

Setelah menepuk bahuku, Shenina segera berlalu. Sebuah mobil sudah menunggunya di depan lobi. Perempuan itu bergegas memasuki mobil, lalu melaju hingga menghilang dari pandanganku.

Beberapa menit berlalu, aku hanya mematung di depan lobi. Perlahan-lahan kugerakkan tangan kanan yang tadi kusembunyikan. Lunch bag berwarna biru laut itu seakan memuram karena tak sampai pada pemiliknya. Aku menatapnya sendu. Lama bertahan. Lalu, menghela napas panjang. 4

Sepertinya aku harus kembali memesan taksi lagi.

***

Di luar sangat terik. Sebelum aku memasuki taksi tadi, sinar matahari terasa menyengat di kulit. Kupikir, sebagian besar orang mungkin akan malas keluar saat hari begitu panas seperti ini. Namun, aku menjadi pengecualian. Demi mengambil hati suamiku, aku rela terpapar sinar UV yang berpotensi merusak kulit jika tidak dilindungi dengan sunblock.

Mungkin niatku sekadar modus. Karena Allah menyayangiku, Dia menggagalkannya saat aku baru memulainya. 1

Aku mendesah pelan. Lalu, memandang lesu pada lunch bag yang membisu dalam pangkuanku. Sepertinya aku harus meluruskan niat agar aku tidak terlalu kecewa ketika keinginan itu belum dikabulkan Allah.

Kata Papa, ikhlas itu seperti kita buang air besar di sungai. Analogi Papa memang jorok, tapi cocok sekali untuk menggambarkan arti ikhlas yang sebenarnya. Kita tidak akan risau memikirkan dia hendak berhilir ke arah mana. Apakah akan nyangkut pada akar-akar pohon, dimakan segerombolan ikan atau sampai ke laut? Ya, begitulah definisi ikhlas yang sesungguhnya.

Kedua sudut bibirku berusaha kutarik ke atas. Di depan, bertepatan dengan lampu merah. Taksi berhenti di belakang sebuah mobil SUV. Dengan sedikit mencondongkan tubuh, aku memanggil supir taksi di belakang kemudi.

“Ya, Mbak?” Pria paruh baya itu menoleh ke belakang.

“Apa bapak sudah makan siang?”

“Belum, Mbak. Kenapa?”

Aku berdeham pelan. Lunch bag motif polkadot itu kuletakkan di jok depan sebelah kemudi agar tidak sampai jatuh jika terjadi guncangan atau rem mendadak.

“Ini masakan pertama saya, Pak. Saya harap Bapak bisa maklum kalau makanannya nggak seenak masakan di warung,” kataku dengan nada sebiasa mungkin. Padahal ada rasa getir di baliknya. Masakan pertama yang kumasak dengan susah payah ternyata tak sampai pada orangnya. Kuharap, memberikannya pada supir taksi yang belum sempat makan siang bisa jadi obat rasa kecewa hatiku. 1

“Lho, jangan gitu, Mbak. Kalau boleh bapak tebak, apa makanan ini buat seseorang yang spesial?”

Bapak itu seolah tahu jika makanan itu sebenarnya untuk diberikan seseorang yang lain. Bukan karena aku yang ingin membagikan makanan pada sembarang sopir taksi yang kutemui.

Aku tersenyum kaku. “Maaf, Pak. Mungkin Bapak sedikit tersinggung karena makanan itu tadinya mau saya berikan sama yang lain. Bapak nggak perlu khawatir, karena makanan di dalamnya masih utuh, kok. Belum dimakan sama sekali.”

“Bukan begitu, Mbak. Kalau makanan ini buat dia, ya lebih baik berikan sama dia, kan, Mbak?”

Aku menggeleng kuat. “Dia sudah makan kok, Pak. Daripada sayang karena saya sudah susah payah masak, lebih baik bapak jadi orang pertama yang mau mencicipi masakan pertama saya.” Suaraku sudah terdengar parau. Mataku berkaca-kaca. Karena tidak ingin ditatap dengan pandangan kasihan, aku segera bergeser ke kanan merapat pada pintu setelah bapak itu mengucap terima kasih. 3

Taksi kembali melaju pelan. Aku hanya menunduk, menatap pada jari telunjuk yang terlilit plester. Saat memotong buncis, telunjukku tak sengaja keiris pisau. Lama terpaku, mataku lantas bergeser pada ibu jari yang memerah karena terkena minyak panas ketika aku mengangkat tempe katsu yang sudah matang. 4

Tanpa bisa kutahan lagi, sebulir air mata itu tiba-tiba menyembul keluar dari pelupuk. Lalu, disusul buliran air bening yang lain. Air hangat itu berleleran di pipi hingga jatuh mengenai hijab. 17

Tbc

*QS. Ali Imran 139

***

Bagian duanya segera, ya. Semoga besok bisa update lagi. Tapi, kalau molor lagi, jangan digetok. Wkwkwk. 1

Inget dokter Rio, nggak? Yang bersama dr. Irfan saat ada di Surabaya. Bisa nebak-nebak, siapa kira-kira yang bakal jadi bintang tamu di sini, ya? 😂😂 13

[EXTRACT]
Taaaa😭
[EXTRACT]
Sweet tapi nyesek .. ga bisa nyalahin airon juga sih..

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Wait :

Below Post Ad