Aku berdecak kagum ketika air mancur itu meluncur keluar membentuk sebuah tarian. Air itu terlontar dari sumbernya, berselang-seling dengan ketinggian berbeda-beda. Warna-warni sorot lampu memancar indah mengikuti setiap gerakan gemulai air itu. Gerak serasi antara sorot lampu dan air mancur membuat pertunjukan tari semakin menakjubkan. Instrumen lagu bertema perjuangan menggema mengiringi gerakan tari.
Pengunjung bersorak gembira ketika air mancur menjulang tinggi saat instrumen lagu yang kental dengan musik angklung itu terdengar menghentak. Suara tepuk tangan riuh bergema ketika proyektor menampilkan permainan hologram. Seekor burung mengepakkan sayapnya lebar-lebar, lalu terbang tinggi di tengah gerakan tari air mancur.
“Abang pernah dateng ke sini?” Aku bertanya pada Arion yang duduk di sebelah kananku. Suara sedikit kukeraskan karena instrumen lagu terasa menabuh-nabuh gendang telinga.
Dia tersenyum tipis, lalu menggeleng pelan.
“Jadi, ini pertama kalinya Abang dateng ke sini?” tanyaku untuk memperjelas.
Dia mengangguk. “Aku malah baru tahu ada pertunjukan seperti ini di sini.”
Aku terlongo. Bagaimana bisa suamiku sampai tidak tahu ada pertunjukan air menari seperti ini di Lapangan Banteng? Mungkin waktunya itu terlalu disibukkan dengan pekerjaan sehingga dia jadi ketinggalan berita. Jangan bilang dia juga tidak tahu ada air mancur menari di Monas.
“Berarti Abang harus bersyukur karena aku jadi orang pertama yang ngajakin Abang ke sini.”
Arion hanya menanggapi cicitanku dengan kekehan pelan.
Sepulangnya dari mengisi seminar, Arion menepati janjinya. Kami menghabiskan waktu dengan nonton film di bioskop. Lalu, makan di salah satu resto di mal. Kemudian, dalam perjalanan pulang, aku mengajaknya mampir ke sini.
Ini seperti sebuah kencan yang kuimpikan sejak dulu. Kencan dengan pasangan yang sudah halal untukku. Bersama lelaki yang kucintai. 1
Meski tidak ada adegan tangan saling bertautan atau aku yang bersandar di pundak Arion selama menonton film, aku sudah bersyukur dengan peningkatan hubungan kami. Bukankah dalam sebuah ayat, Allah akan menambah nikmat itu jika bersyukur? Mungkin setelah ini Arion akan terbiasa denganku sehingga hatinya pelan-pelan mulai terisi namaku.
Ada pepatah bilang, cinta akan tumbuh karena terbiasa, bukan? 1
Instrumen lagu berikutnya kembali mengalun. Kali ini, lebih pelan dari sebelumnya. Suara seruling menambah syahdu malam yang semakin merangkak.
Aku melirik Arion. Pandangannya fokus menatap lurus ke depan. Senyumku terbit ketika tiba-tiba pikiran ini terlintas sesuatu.
“Abang nggak nanya aku pernah ke sini atau nggak?”
Arion menoleh. “Hm?”
Dia sepertinya belum sepenuhnya mencerna yang kutanyakan barusan. “Aku pernah ke sini sama cowok.”
Aku hanya ingin tahu bagaimana reaksinya jika aku ke tempat ini bersama seorang lelaki, tiga bulan lalu. Apa dia akan cemburu?
Aku tidak tahu apakah dia cemburu atau malah bereaksi biasa saja. Arion hanya diam menatapku. Ekspresi wajahnya tidak terbaca. Jika di dalam novel, tokoh laki-laki akan kelihatan cemburu dengan pasangannya, saat ini aku justru tidak bisa melihat itu dari air muka Arion. 2
Aku tersenyum masam. Sepertinya aku terlalu berekspektasi yang berlebihan. “Aku ke sini ... hm ... sama Bang Gibran.”
Memangnya apa yang kuharapkan lagi? Dia tidak terlihat seperti pria yang tengah cemburu. Aku memilih menerangkan dengan siapa aku pergi ke tempat ini tiga bulan lalu ketimbang membiarkannya salah paham denganku. Ya, tentu saja aku ke sini bersama kakakku sendiri. Memang siapa lagi?
Tanpa kuduga reaksi Arion justru tertawa pelan mendengar penjelasanku barusan.
Aku hanya termangu. Sejujurnya, aku seringkali bingung mengartikan semua ekspresinya itu.
Instrumen musik sudah berhenti. Lampu penerang kembali dinyalakan. Air mancur juga tak lagi meluncur dengan tarian gemulainya. Satu per satu pengunjung yang duduk di bangku tribun mulai turun. Sebagian ada yang memilih bertahan di sini, menunggu pertunjukan air mancur menari sesi ketiga yang akan kembali dimainkan tiga puluh menit lagi.
“Kamu haus?”
Aku menoleh pada Arion. Kami tidak bawa bekal air minum dari rumah. Tadinya, menonton pertunjukan air mancur menari tidak masuk dalam rencanaku. Kami hanya berencana jalan-jalan di mal, nonton, makan, lalu pulang. Makanya, aku tidak membawa bekal camilan dan minuman.
“Biar aku beliin dulu. Kamu tunggu di sini.”
Tanpa menjawab pertanyaannya, Arion sudah berinisiatif membelikanku minuman. Aku tersenyum haru dengan tindakan kecilnya itu.
“Pengantin baru ya, Neng?” Suara seseorang yang bertanya di belakang, membuatku menoleh.
Seorang ibu paruh baya yang mengenakan hijab instan warna merah tersenyum kepadaku.
Aku membalas senyumnya dengan anggukan kikuk. “Bisa dibilang begitu, Bu. Baru ... hm ... sebulan.”
“Pantesan dari tadi suaminya lihatin istri terus ketimbang air mancurnya.” 15
Aku tertegun. Arion lebih memilih memandangku ketimbang pertunjukan air mancur yang menakjubkan? Kenapa aku tidak menyadarinya? Apa aku yang terlalu terpukau dengan air mancur yang menari sehingga aku sampai tidak tahu ada sepasang mata yang terus menatapku?
“Itu Kak Arion, kan?”
“Iya. Ada Kak Arion di sini.”
Seruan dari remaja-remaja ABG mengalihkan perhatianku. Lima remaja yang kuperkirakan masih SMP itu tampak heboh mendekati Arion yang berjalan ke arah tribun yang kududuki.
“Kak Arion kok bisa ada di sini?”
“Kak Arion ke sini sama siapa?”
Remaja itu sibuk bertanya sendiri, padahal Arion belum sempat menjawabnya.
“Saya ke sini sama istri.” Arion menoleh ke arahku. Jawaban Arion itu seperti menerbitkan kejora-kejora di hatiku. Dia kembali menyebutku “istri”.
Is-tri. Lagi-lagi aku mengejanya di dalam batinku.
“Kak Arion minta foto dong?”
Arion mengiyakan ajakan foto remaja berambut lurus sebahu. Gadis belasan tahun itu berfoto di sebelah Arion dengan menunjukkan dua jari tanda “peace” andalannya. Meski bersebelahan, rupanya Arion sedikit menjaga jarak.
Aku jadi teringat saat dia foto di sebelah Shenina. Jarak mereka juga tidak sampai menempel. Mungkin karena Shenina mengambil fotonya dari arah kiri sehingga mereka seperti duduk dengan jarak yang lebih dekat.
“Aku juga minta foto, Kak.”
Remaja itu bergantian meminta foto dengan Arion di dekat kolam air mancur. Melihat ini aku jadi merasa seperti istri dari seorang selebriti.
Selesai melayani foto para ABG itu, Arion berjalan ke arahku.
“Abang udah mirip kayak artis aja,” celetukku ketika Arion sudah duduk di sebelahku.
Arion hanya menanggapinya dengan tertawa pelan. Dia membukakan penutup botol air minum, lalu menyodorkan kepadaku. 4
“Bukannya kamu yang seleb,” timpalnya setelah aku menerima botol air mineral itu.
Aku berdecih pelan. “Abang nyindir aku?”
“Kenapa jadinya malah nyindir, sih?”
Ya, karena followers-ku yang kini berjumlah dua ratusan ribu itu rata-rata hanyalah haters. Tidak heran, jika pergi ke mana pun, aku tidak sampai seperti Arion yang dimintai foto salah satu fans-nya.
Aku meneguk air mineral dingin itu hingga seperempat bagian. Lalu, menyerahkan kembali pada Arion. Tanpa kuduga, botol air minum yang belum ditutup itu langsung diminumnya hingga setengah bagian.
Seketika aku membeku. Kedua pipiku serasa memanas. Degup jantung seakan seperti ditabuh keras dan cepat. Hanya karena Arion minum dari botol air minum yang sama denganku saja sudah membuat jantungku kelojotan seperti ini.
Aku menelan ludah. Lalu, mengalihkan pandangan ke depan. Kuharap dia tidak menangkap rona-rona di pipiku yang mungkin warnanya semerah tomat.
Cukup mengherankan juga Arion mau minum dari botol yang sama denganku, padahal dia sudah punya sendiri. Apa mungkin dia sudah terbiasa denganku? Termasuk kita berbagi ....
Pipiku seakan semakin terbakar. Beruntung lampu di belakang tribun kembali dipadamkan. Para pengunjung yang tadi sempat turun berbondong menuju area amphitheater. Intro musik pembuka memecah malam yang bergerak di pukul 20.15. Sorak sorai pengunjung menyambut air mancur yang meluncur tinggi.
Aku menoleh pada Arion. Lelakiku ini rupanya juga tengah menatapku. Jika tadi aku begitu terhipnotis dengan pertunjukan air mancur, sampai aku tidak menyadari ada sepasang mata yang terus memandangku. Kini, aku akan memusatkan perhatianku kepadanya.
Senyumku merekah. Dengan gerakan pelan, tanganku melingkar di lengannya. Tanpa memedulikan keterkejutannya, aku bersandar pada bahunya yang lebar. Aku tak menghiraukan bagaimana tanggapan orang-orang yang duduk di belakang kami. 2
Ini kencan yang tidak biasa, tapi terasa sempurna. Meskipun ditemani suara tangis anak kecil atau anak-anak yang berlarian di dekat air mancur, aku sudah bahagia. Malah, kencan ini terasa lebih romantis ketimbang yang biasa kutemui di dalam sebuah novel romance.
Romantis, sekaligus realistis. 1
***
“Aku boleh nanya sesuatu sama Abang?”
Saat ini kami sudah tidur di atas ranjang dengan mata saling beradu satu sama lain. Arion membenahi tangan kirinya yang dijadikan bantal, lalu bertanya pelan, “Mau nanya apa?” Dia memandangku tepat di pupil mataku. Tatapannya itu terasa begitu meneduhkan.
“Tapi, Abang mau jawab jujur, kan?”
Arion tersenyum kecil. “Memangnya aku pernah bohong sama kamu?”
Aku berdecih pelan, lalu tersenyum geli. Dia memang tidak pernah membohongiku, tapi pada kenyataannya masih ada banyak hal yang tidak kuketahui tentang dia. Terutama ... tentang perasaannya padaku.
“Apa ... Abang selama ini tidur ngadep aku terus sepanjang malam? Hm ... maksudnya posisi Abang begitu terus sampai bangun tidur?”
Aku sudah tahu jawabannya. Tapi, aku perlu mengecek kejujurannya. Apa dia akan mengaku jika malam itu dia sengaja memelukku?
Sebenarnya aku juga penasaran kenapa dia tidak menyebutku saat menerima award beberapa waktu lalu. Tapi, soal itu mungkin bisa kutanyakan setelah ini.
Arion tersenyum lebar. “Jadi selama ini kamu ngira aku akan tidur seperti ini sepanjang malam?”
“Hm ... nggak juga. Aku ... pernah terbangun dalam ... pelukan Abang.” Aku memelankan suara saat mengatakan dua kata terakhir. Mengucapkannya serasa pipiku disemprot air cabe. Panas.
“Itu juga kamu tahu, kan, kalau aku nggak tidur seperti patung sepanjang malam?”
Aku terdiam. Mencoba mencerna ucapannya. Apa itu artinya? “Malam itu Abang ... hm ... sengaja meluk aku?” Aku hanya bertanya malam itu, karena beberapa waktu lalu, aku tahu dia memang sengaja memelukku.
Arion menatapku lekat. “Kalau aku katakan, aku selalu memelukmu setiap kali kita tidur bersama, apa kamu akan marah?”
Aku tercengang. “A-apa?” Dia selalu memelukku? Jadi bukan hanya dua malam itu? Kenapa aku sampai tidak menyadarinya?
“Ke-kenapa ... Abang ... selalu meluk aku?”
Jantungku seperti digedor-gedor, berdegup keras menunggu jawabannya.
“Karena kamu istriku, kan?”
Bukan jawaban itu yang kuinginkan. Aku ingin tahu alasannya. Alasan yang menunjukkan dia juga memiliki perasaan yang sama denganku.
“Tapi, aku harus jujur. Aku terkadang sampai harus melepas pelukanku dan terpaksa tidur memunggungimu kalau ada sesuatu yang mengujiku.” 7
Aku tercenung. “A-ada se-sesuatu yang menguji? Menguji apa?” Sejurus kemudian, mataku terbelalak ketika menyadari sesuatu. “Errr ... lupakan pertanyaanku tadi!” sergahku cepat. 1
Aku buru-buru membalikkan badan. Memunggungi Arion. Darahku serasa berdesir. Degup jantung seakan bertalu-talu.
Aku membeku saat tangan kukuhnya melingkari pinggangku, lalu memelukku erat. Otot tubuhku serempak menegang ketika kepalanya membenam di ceruk leherku. “Kalau aku meminta hakku, apa itu boleh?” bisiknya lirih di sela-sela rambutku. 7
Jantungku seperti dilempari batu, lalu pompanya berhenti sehingga dia tidak sanggup berdetak lagi. Dua kakiku seakan mati rasa. Kaku tanpa bisa digerakkan. 3
Kami sudah menikah. Meskipun aku tidak tahu bagaimana perasaan Arion kepadaku, siap tidak siap aku harus menunaikan kewajibanku bila saat itu tiba.
Dengan gerakan pelan, Arion membalikkan tubuhku menghadap kepadanya. Tangan kukuh itu menyentuh pipiku yang terasa terbakar, lalu mengusapnya lembut. Dia menatapku dalam. Sorot matanya seakan mengatakan bahwa dia benar-benar menginginkanku ... malam ini.
“Aku ... nggak perlu nunggu sampai setahun untuk dapat hakku, kan?” Suara Arion sudah terdengar serak dan berat. 1
Aku meneguk ludah dalam. Aku tahu arti suara berat itu. Aku tidak mungkin menolaknya jika tidak ingin malaikat melaknatku sepanjang malam karena suamiku tidak meridhainya.
Diamku adalah tanda pasrahku. Ketika wajahnya mendekat, mataku spontan terpejam. Sesuatu yang lembut itu menyentuh bibirku. Aroma mint seakan menghipnotisku. Membuat tubuhku seolah terangkat tanpa beban.
Saat ini, aku seperti melayang di atas awan dengan dikelilingi kerlap-kerlip bintang. Di balik awan yang bertumpuk-tumpuk itu ada rembulan yang mengintip malu-malu.
Sebelum kesadaranku terempas, ada suara yang berbisik lirih di telingaku, “Kamu ... sudah hafal doanya, kan?” 18
Tbc
***
Wadidaw wadidaw wadidaw 🙈🙈
Yang ngira Arion nggak normal, terjawab di sini, ya. Toh, sudut pandang hanya dari Lovita yang mikirnya suka ke mana-mana. 😎 8
Sesuai aturan yang selalu saya pegang selama saya nulis di Wattpad: konten berusaha seAMAN mungkin. Artinya kalau sudah jadi novel, ada sedikit perbedaannya, ya. Eaaaa. Eaaaa. 😂😂 6
Oh, ya, terakhir. Dengan terpaksa saya harus bilang ini. Sebenarnya nggak enak juga bilang ini. Udah nunggu lama, eh malah ...
Yep, sampai di part 10 ini dengan terpaksa NaDM libur untuk sementara waktu dulu karena saya harus menyelesaikan "Yellow Autumn" versi novelnya. Editor udah nagih soalnya. Daripada konsentrasi terbelah, terus malah nggak fokus, lebih baik saya selesaikan salah satunya. 22
Maaf, yaaaa. InsyaAllah saya segera balik lagi saat sudah rampung. 8
Kasih vote yang banyak dong, biar saya cepet balik lagi meneruskan kisah Lovita - Arion. 😍😍 3