Cung, siapa yang kangen? 😂 47
*** 3
Pintu kubuka pelan-pelan, lalu melongok hati-hati ke ruang tengah. Kosong. Arion tidak ada di sana.
Saat mataku mengedar hingga ke pantri, sosok yang membuat jantungku berdetak tak menentu itu ternyata berada di sana. Aku berdiri ragu-ragu antara mendekatinya atau kembali berdiam di dalam kamar. Ada sebongkah malu yang menguar menyusupi pipiku. Jika mengingat apa yang telah terjadi di antara kami tadi malam, aku mungkin akan disergapi rasa canggung ketika berhadapan dengannya. 3
“Kamu sudah bangun?” 1
Aku tidak jadi masuk ke kamar ketika suara itu mengejutkanku. Meskipun pintu kamar tidak terletak berhadapan dengan pantri, dia tetap bisa melihatku saat berbalik. 2
Aku tersenyum kikuk. Karena bingung harus bagaimana menghadapinya, aku hanya berdiri canggung di depan pintu kamar. 1
Dia berjalan mendekatiku. “Aku buatin cokelat panas kesukaanmu.” Dia tersenyum seraya menyodorkan secangkir cokelat panas kepadaku.
Aku menerimanya hati-hati. “Makasih,” ujarku masih terasa canggung. Uap yang meliuk lembut itu terasa menghangatkan pipiku.
Kami duduk di sofa ruang tengah. Duduk bersebelahan dengan sedikit jarak dan hanya diam menekuri liukan uap yang menari-nari di udara.
Ini masih terlalu pagi. Di luar sana, langit tampak samar diselimuti gelap. Tirai yang sudah tersibak sempurna itu membuatku bisa melihat sekerlip bintang lewat ujung mataku.
Aku mengerling pada Arion. Dia menyesapi teh hangat buatannya itu pelan-pelan.
Tidak sepertiku yang menyukai cokelat panas, dia lebih memilih teh hangat atau—sesekali—kopi sebagai minuman favoritnya. Saat pertama kali tinggal di sini, tidak kutemukan bubuk kakao di pantri. Namun, dua hari setelahnya bubuk cokelat itu kudapati ada di dalam lemari kabinet. Entah kapan dia meletakkannya di sana. 4
Ah, kenapa terasa banyak sekali yang kulewatkan dari perhatian kecil Arion kepadaku? 3
“Ta ....” Suara Arion memecah keheningan di antara kami. 1
“Hm?” Aku menoleh kepadanya. Mataku sekonyong-konyong malah jatuh pada rambut pendeknya yang terlihat masih basah. Tiba-tiba pipiku terasa memanas mengingat kejadian tadi malam. 1
“Kalau aku ajak kamu nanti, kamu mau ikut?”
Aku mengernyit. “Ke mana?”
“Nyariiin anak itu.”
Saat ini alisku semakin bertaut. “Anak?”
Arion mengangguk. “Kemarin Ghandi ngasih tahu aku kalau ada anak kelas 5 SD yang jualan kacang rebus sepulang sekolah. Hasil jualannya itu dia digunakan untuk biaya sekolah dan berlangganan KelasSeru. Padahal di KelasSeru sendiri ada beasiswa untuk mereka yang nggak mampu.”
Aku mencelus. Anak seusia itu harus berjuang keras mencari uang demi membiayai pendidikannya sendiri—apalagi sampai berlangganan KelasSeru. 5
“Yang membuatku terenyuh, dia kadang jualan sampai malam, keliling dari lampu merah ke lampu merah lain.”
Aku semakin tercekat. Rasanya aku harus banyak bersyukur karena dilahirkan dari kedua orangtua yang berkecukupan—meskipun bukan dari golongan konglomerat.
Arion menghela napas pelan. “Salah satu tujuanku mendirikan KelasSeru itu agar mereka yang nggak mampu ini bisa terus bersekolah. Makanya, kami nggak akan perhitungan untuk memberikan beasiswa agar mereka nggak sampai putus sekolah dan bisa berlangganan KelasSeru gratis.”
Aku tertegun. Ini mungkin yang membuat Arion selalu berpenampilan sederhana. Bukan keuntungan semata yang dia cari, melainkan untuk tujuan mulia.
Kata Agni, dengan pertumbuhan perusahaan yang begitu cepat, KelasSeru digadang-gadang akan segera menjadi unicorn tahun depan. Agni hanya membaca dari berita online. Jika Arion mau bergaya, mungkin dia sanggup membeli satu unit apartemen mewah di kawasan SCBD—meskipun harus berhutang dulu. Pada kenyataannya, dia memilih tinggal di apartemen biasa di luar daerah Sudirman yang harganya selangit. Mobilnya bahkan sekadar Xpander abu-abu metalik yang aku yakin CEO di Wattpad tidak ada yang menaiki mobil seperti ini. 22
Aku mengulas senyum. Ada rasa haru yang terasa membanjiri hatiku. Aku beruntung sekali memiliki suami sepertinya.
“Apa kamu mau ikut?” Arion bertanya lagi.
Aku mengangguk mantap. “Tentu aja aku mau ikut,” kataku dengan senyum terkembang.
“Tapi ... kita nanti mungkin akan jalan kaki pas nyariin anak ini. Apa ... hm ... kamu nggak apa-apa?”
“Tentu aja ak—“ Kalimatku terputus saat melihat air muka Arion yang terlihat canggung ketika menanyakannya. Aku mengalihkan pandangan begitu menyadari apa maksud di balik pertanyaan itu.
Pipiku terasa memanas. Buru-buru kuseruput cokelat—yang kini—sudah hangat. Aku bersyukur pengalihanku ini tidak berakhir dengan lidah terbakar karena nekat menyeruput minuman panas. 5
Harus kuakui, Arion memperlakukanku dengan sangat lembut. Rasanya tidak masuk akal jika ada tokoh perempuan dalam novel yang kubaca sampai tidak bisa jalan padahal suaminya memperlakukannya begitu lembut seolah dia berhadapan dengan sebuah porselen berharga mahal yang bisa saja pecah jika tidak hati-hati. 18
“Tentu ... hm ... aku nggak apa-apa.” Suaraku terdengar begitu pelan. Jangan tanya semerah apa pipiku saat ini. Rasanya aku ingin berlari ke kamar, lalu menguncinya rapat-rapat. Tapi, yang terjadi justru sebaliknya. Kakiku seperti terpaku. Dan kami hanya bergeming dalam kecanggungan. 4
***
Matahari semakin beranjak naik saat kami berjalan di trotoar dekat Patung Kuda. Area Car Free Day yang kini dibebaskan dari para pedagang kaki lima membuat kami langsung menuju tempat ini.
Kata Ghandi, setiap hari Minggu, anak itu biasa berjualan di sini. Entah di mana tepatnya, sepetinya kami harus bersabar untuk menemukan anak itu.
Tanganku berkali-kali bersinggungan dengan tangan Arion. Jangan harap dia akan menggandeng tanganku saat berjalan bersisian. Rasanya aku seperti menghadapi sosok lain dari dirinya. Perlakuannya tadi malam yang membuatku seperti melayang di atas awan benar-benar bertolak belakang ketika dia sudah berada di tempat keramaian seperti ini. 3
Aku menghela napas pelan. Kali ini, tangan kananku terayun keras hingga sedikit menyentak tangan Arion.
Laki-laki itu berhenti, lalu menoleh kepadaku yang sudah bergeming lebih dulu. “Kenapa, sih?”
Sepertinya dia mengira aku memanggilnya lewat gerakan tangan.
“Aku kan jalannya sebelahan sama Abang. Deket banget lagi. Jadi wajar kalau tanganku sering nabrak tangan Abang,” jawabku sekenanya. Kuharap dia mengerti kodeku. Namun, laki-laki yang kuharap bisa paham kode di balik kalimat yang kukatakan barusan itu hanya menggeleng pelan seraya tertawa lirih. 1
Karena kesal, aku berjalan mendahuluinya. Sepertinya aku harus membuang jauh khayalanku yang digandeng pasangan halal saat berjalan di tepi trotoar seperti ini.
Saat aku melangkah sejauh 5 meter, sebuah tangan tiba-tiba menggenggam tanganku. Aku berhenti. Tertegun dengan genggaman tangannya di sela jemariku.
“Apa ini yang kamu maksud tadi?” Arion mengeratkan tautan jemarinya. 2
Aku menatapnya malu-malu. Dengan senyum yang kikuk—karena dia bisa membaca kodeku—aku berkata kepadanya, “Itu juga Abang tahu.”
“Memang wanita itu kebanyakan rumit, ya? Apa susahnya tinggal bilang pengin digandeng, sih? Ketimbang nyimpen kesel sendiri karena kami nggak paham maksudnya, kan?” 9
“Tapi, aku nggak serumit kayak wanita lain.”
“Masa?”
Aku hanya mengerucutkan bibir. Sedang dia tertawa pelan.
Kami berjalan lagi. Dua pasang kaki ini mengayun beriringan dengan tangan saling menggenggam. Sepanjang perjalanan, mata kami terus saja mengedarkan pandangan mencari anak itu.
“Sepertinya itu dia.”
Aku mengikuti arah pandangan Arion. Seorang anak kecil berkaus biru yang warnanya sudah memudar berjalan tak jauh di depan kami. Dia membawa keranjang yang berisi kacang rebus.
Arion mempercepat jalannya. Aku pun harus menyamai langkahnya karena tanganku terus digenggam olehnya.
“Dik...,” sapa Arion begitu menyentuh bahu anak kecil itu.
Dia berbalik. Memandang Arion dengan heran. “Ya, Om?”
Sudut bibirku berkedut ketika mendengar anak itu memanggilnya “Om”. Panggilan itu terdengar aneh di telingaku karena dia sering dipanggil “Kak”. Ya, meskipun dia sendiri sudah menjadi Om untuk ketiga keponakannya.
“Oh, maaf. Sepertinya saya salah orang.”
Kupikir anak itu yang kami cari. Ternyata bukan. Tadi, Arion sempat menunjukkan wajah anak itu lewat video yang diunggah di Twitter. Kata Arion, Ghandi tahu video itu saat muncul di time line-nya.
“Tunggu dulu.” Saat anak itu hendak berjalan lagi, Arion tiba-tiba mencegahnya. Dia melepas genggaman tangannya, lalu mengambil ponsel dari saku celana jeans. Hari ini, dia tampil kasual dengan polo shirt warna putih dan celana jeans biru.
“Apa Adik tahu dia?” Arion menunjukkan video pada anak itu.
“Oh, ini Kak Haidar.” 2
“Haidar? Adik tahu di mana dia sekarang?”
Aku bisa melihat air muka Arion yang mendadak semringah.
“Biasanya tiap Minggu dia jualan di sini, Om. Tapi, dari tadi pagi aku belum ketemu sama dia.”
Arion hanya mengangguk lemah. Sepertinya pencarian kami memang tidak mudah.
Apa mungkin anak itu tidak jualan hari ini? Jika iya, mungkin kami belum berjodoh untuk bertemu anak itu hari ini.
Tbc
***
Langsung geser ke bawah karena ada lanjutannya. 16
Vote, dulu tapi. 😌
3