Sedekah vote-nya, Gaes. Tarangkeyu. 😘😘 3
***
"Menurutmu kalau kamu dapet award, kamu bakalan nyebutin siapa aja saat ngucapin terima kasih?" Aku bertanya pada Agni saat kami sudah berada di salah satu kafe di Plaza Indonesia. Setelah mengunjungi Muslim Fashion Festival di JCC, Agni mengajakku mampir ke sini.
Sebelum menjawab, Agni berusaha menelan habis apple pie yang baru saja dikunyahnya. "Kalau aku dapet award?" Dia menaikkan sebelah alisnya. "Tentu yang pertama adalah Allah, yang kedua Mama Papaku, dan yang ketiga suamiku."
Benar, kan? Harusnya jika Arion berniat menyertakan aku dalam ucapan terima kasih, aku berada di urutan ketiga.
"Tunggu!" Agni tampak menyipitkan matanya. "Kenapa kamu nanyain itu? Aku kemarin nonton Kak Arion di tivi. Apa jangan-jangan?"
Tak lama kemudian dia mendesis pelan. Telunjuknya lantas menuding tepat di dahiku. "Aku bisa menebak apa yang ada di pikiranmu sekarang."
Aku berdecak seraya menyingkirkan tangannya. "Apa sih?"
"Jadi kamu pikir Kak Arion nggak nganggep kamu ada karena dia nggak nyebut kamu waktu dia dapat award?" Agni tertawa dengan ekspresi bosan.
Aku hanya memandangnya kesal.
"Aku kasih tahu ya, Ta. Kita ini hidup di dunia yang penuh dengan realita. Kayaknya bacaanmu yang serba romance itu kudu dikurangi deh. Yang jelas, hal-hal kayak gitu bisa aja terjadi dalam kehidupan rumah tangga yang sebenarnya." Agni menyeruput iced cappucino yang belum diminumnya sejak tadi. "Dua hari lalu aku sempet kesel sama Mas Ivan. Dia nggak jemput aku. Aku sampai nunggu dia lama. Kutelpon berkali-kali, tapi nggak diangkat. Aku akhirnya minta Yuris jemput aku. Untung dia ada di rumahnya."
Aku tertegun. Suami Agni yang kelihatan sempurna di mataku ternyata dia sampai tidak menjemput istri yang dicintainya.
"Lebih kesel lagi waktu dia pulang ke rumah, dia tetep biasa aja. Nggak ada perasaan bersalah sama sekali. Aku lagi kesel, eh ... dianya malah nggak peka."
Aku masih termangu dengan apa yang dikatakan Agni. Pepatah mengatakan, rumput tetangga selalu tampak hijau dari kejauhan. Kita lupa bahwa yang terlihat hijau itu bisa jadi ketika didekati ada lubang besar di tengahnya. 1
"Dia baru tahu waktu aku luapin semuanya. Mau tahu? Saat itu dia jawab apa coba?" Agni mendekat ke arahku. "Lu-pa. Gimana aku nggak makin kesel?"
Aku sampai terlongo. Bagaimana bisa Ivan yang terlihat begitu peduli dengan Agni sampai lupa menjemput istrinya?
Sebagai freelancer, Agni memang tidak setiap hari akan keluar rumah. Dia hanya akan pergi saat ada yang berkaitan dengan pekerjaannya sebagai content creator. Mungkin karena inilah yang membuat suaminya sampai lupa menjemput sang istri.
Tapi, hey ... ini yang dibicarakan adalah Ivan. Ivan yang selama ini tampak begitu perhatian dengan istrinya.
"Jadi, dalam berumah tangga itu yang paling penting adalah komunikasi, Ta. Biar kesel sekalipun, lebih baik luapin. Biar pasangan kita itu tahu apa yang bikin kita kesel sama dia. Jangan cuman diem aja, ujung-ujungnya malah sakit hati sendiri." 1
"Aku nggak sampai sakit hati karena Abang nggak nyebut aku," sergahku berusaha membantah.
Agni mengernyit tak percaya. "Masa?" Air mukanya seakan hendak menertawakan bantahanku. "Nggak sampai sakit hati, tapi galau semalaman," cibirnya seraya memandangku bosan.
Aku hanya mengerucutkan bibir menanggapi cibiran Agni.
Dia mendesah pelan. "Gini, ya, Ta. Sebagai pasangan, kita harus bisa memahami dan mengerti gimana pasangan kita. Contohnya pas Mas Ivan lupa nggak jemput aku. Sekesal-kesalnya aku sama dia, aku nggak sampai mikir kalau dia udah nggak cinta sama aku lagi. Aku tetep yakin, pasti ada alasannya. Dan bener. Setelah Mas Ivan jelasin semuanya, ternyata emang ada masalah di kantornya. Dia sampai ngecek ke pabrik. HP lupa dibawa, makanya telponku nggak diangkat."
Aku lagi-lagi tertegun dengan penjelasan Agni. Ketika Arion tak menyebutku, hati kecilku seakan mengatakan aku tak berarti dalam hidupnya. Entah bagaimana perasaannya kepadaku, toh dia tetap peduli denganku. Dia satu-satunya orang yang memilih memberi kesempatan kepadaku meski aku sangat ceroboh. Dia bahkan mau memberi nilai 80 untuk masakanku-yang kutahu persis nilai itu terlalu berlebihan untukku. Tapi, dia tahu bagaimana cara agar tidak mematahkan semangatku.
Aku tidak tahu alasan kenapa Arion tidak menyebutku dalam ucapan terima kasih itu. Mungkin dia hanya lupa. Atau sebab lain yang aku tak tahu apa. Yang jelas, tidak seharusnya aku berpikir Arion mengabaikan keberadaanku hanya karena dia tidak menyebutku saat penerimaan award itu. 13
"Kunci dalam berumah tangga itu adalah komunikasi, Ta. Kita harus saling jujur dan terbuka biar bisa saling memahami dan mengerti gimana pasangan kita. Kalau semua itu bisa kita jalanin, nanti ke depannya bakalan enak."
Aku tepekur. Selama ini aku belum terbuka dengan isi hati dan pikiranku. Aku malah memilih diam dan sibuk berasumsi sendiri.
Umur pernikahan kami memang belum genap satu bulan. Butuh proses untuk bisa seperti yang diungkapkan Agni. Nyatanya, hingga kini kami belum bisa saling terbuka satu sama lain. Jika salah satu dari kami tidak ada yang memulainya, akan dibawa ke mana rumah tangga ini? Haruskah aku menurunkan ego untuk memulai duluan? 2
"Nggak ada pasangan yang sempurna, Ta. Sebagai manusia biasa, kadang dia bisa aja lupa, bikin kesel atau hal-hal yang nggak kita suka lainnya. Itu wajar terjadi karena pasangan kita bukan sosok tanpa cela kayak di dalam novel. Lagian, kita sendiri juga begitu. Kadang bikin bingung sendiri karena kita cuman diem aja, padahal dalam hatinya kesel."
Setelah termenung sejenak, kedua sudut bibirku perlahan mengembang membentuk sebuah lengkungan. Apa yang diungkap Agni setidaknya membuka pemahamanku tentang rumah tangga yang sebenarnya. Bukan rumah tangga yang dibangun dalam dunia fiksi yang selalu diwarnai dengan cinta masa lalu-seolah masalah yang lain tidak ada. Padahal konflik rumah tangga bisa saja muncul dari yang sepele seperti yang diceritakan Agni. Jika dia hanya memilih diam, aku yakin mereka masih tetap marahan sampai sekarang.
Dan inilah yang menjadi permasalahan rumah tangga kami. Sesungguhnya bukan Shenina yang menjadi konflik utamanya. Justru kami berdualah yang membuat segalanya terasa rumit.
Atau ... jangan-jangan bukan kami berdua, melainkan ... aku sendiri?
***
Aku bergegas berjalan menuju ke dekat pintu ketika bunyi detektor kunci terdengar. Aku bersembunyi di balik dinding saat pintu dibuka. Daster motif Hello Kitty sepanjang lutut yang kukenakan ini tidak memungkinkan aku berdiri di depan pintu. Auratku bisa saja terlihat oleh orang yang kebetulan lewat di lorong apartemen.
Ketika Arion sudah menutup pintu, barulah aku muncul dari balik dinding. Rupanya, dia tidak menyadari keberadaanku karena sibuk melepas sepatu, lalu menatanya di rak.
Arion baru terkejut ketika berbalik menghadapku.
Senyumku terkembang menyambutnya. Dia masih berdiri terpaku di sana. Mungkin perubahan ekspresi mukaku yang berbeda 180 derajat membuatnya heran sendiri.
Pagi tadi, aku tetap saja memasang mode diam. Belum hilang rasa kecewaku karena dia tidak menyebutku dalam ucapan terima kasih, aku malah dihadapkan pada kenyataan pahit lainnya. Arion tidak lagi memelukku saat aku terbangun dini harinya. Dia bahkan kembali memunggungiku seperti saat malam-malam pertama kami menikah.
Entah apa alasannya, emosiku semakin labil dibuatnya. Aku memilih mengunci rapat mulutku sebagai upaya untuk meredam rasa kecewaku kepadanya.
Setelah penuturan Agni siang tadi, pikiranku perlahan mulai terbuka. Bisa jadi dia memunggungiku karena ingin mengubah posisi tidur lantaran pegal. Atau mungkin karena ....
Aku menelan ludah ketika menyadari satu kemungkinan itu. Kedua pipiku terasa memanas.
Lama terdiam, salah satu dari kami belum ada yang bergerak maju. Dia masih bergeming dengan-mungkin-banyak pertanyaan yang bergumul di kepalanya. Sementara aku tetap memasang senyum yang terkulum.
Langkahku mendekat. Aku harus menurunkan ego bahwa laki-laki yang seharusnya bergerak lebih dulu.
Tanganku terulur kepada Arion. Tatapannya beralih pada uluran tanganku. Dia seperti belum mengerti maksudku mengulurkan tangan. Karena tak kunjung menyambut, aku meraihnya duluan untuk kucium punggung tangannya.
"Aku cuman mau salaman sama Abang," kataku setelah melepas tangannya.
Setelah tertegun sejenak, dia lantas tersenyum sekilas.
"Apa Abang udah makan?" Aku berusaha mencairkan suasana dengan berbasa-basi menanyakan makan malam saat waktu sudah bergerak-sewaktu kulirik jam dinding tadi-di angka delapan.
Dia menggeleng.
Ada rasa haru yang menyelinap di hatiku. Suami lain mungkin akan memutuskan mampir makan dulu sebelum pulang ke rumah. Tapi, Arion justru sebaliknya. Padahal bisa jadi di rumah tak ada makanan.
"Aku tadi udah masak buat makan malam." Aku menaikkan kedua tanganku, lalu menunjukkan kesepuluh jariku kepadanya. "Abang lihat, kan? Jariku udah nggak ada yang keiris pisau atau kena minyak panas lagi."
Arion tertawa pelan menanggapi penuturanku.
"Kamu sudah makan?" Dia bertanya kemudian.
Aku menggeleng. "Kan, aku nungguin Abang." Walaupun aku mendiamkannya pagi tadi, dia tetap memberitahuku akan pulang malam melalui Whatsapp. Ya, meskipun aku tidak tahu jam berapa dia akan sampai di rumah, aku tetap menunggunya agar kami bisa makan malam bersama.
"Tapi, aku mandi dulu."
Aku mengangguk. "Tadi, aku udah nyalain pemanas airnya, kok."
Arion mengusap puncak kepalaku sebelum beranjak ke kamar. Aku terpaku karena usapan lembutnya itu. Ini kali kedua dia melakukan itu. Baru dua kali, tapi deguban jantungku sudah semakin tak terkendali. 3
Ketika Arion masuk kamar, aku bergegas menuju pantri. Arion tidak butuh waktu lama untuk berada di kamar mandi. Aku harus segera menyiapkan makan malam kami. Sebelum azan Maghrib tadi, aku baru selesai memasak. Meski sudah tidak hangat, aku tak perlu memanaskannya lagi ke microwave. Toh, nasinya sendiri sudah hangat.
Lima belas menit kemudian, Arion sudah kembali dengan kaus oblong warna putih dan celana selutut. Wajahnya terlihat segar. Dan rambutnya masih basah.
Dia menarik stool, lalu duduk di depanku. Aku mengambilkan nasi dan lauk untuknya.
"Aku cuman bisa masak ini. Hm ... Abang nggak apa-apa, kan, kalau malam ini kita makan nggak ada sayurannya?" tanyaku hati-hati seraya menyerahkan sepiring nasi berisi ayam masak merah untuknya.
Aku kebingungan harus memasak menu apa malam ini. Googling sana-sini, nyari resep di Instagram, bahkan lewat You Tube sekalipun, tetap saja aku belum bisa menemukan resep sayuran yang pas. Akhirnya, aku hanya bisa memasak itu. Kuharap Arion bisa memaklumi aku yang masih amatiran ini. 1
"Nggak apa-apa. Asal nggak jadi kebiasaan saja," kata Arion sembari menerima sepiring nasi dan lauk yang kuberikan kepadanya.
Aku tersenyum simpul. Inilah salah satu yang harus kusyukuri dari Arion. Dia tetap menerima apa pun yang kuberikan kepadanya. Aku tahu, mungkin di luar sana tak sedikit suami yang malah mencerca masakan istrinya karena tidak sesuai seleranya, sementara Arion justru sebaliknya. Dia selalu paham bagaimana cara menghargai hasil jerih payah istrinya yang baru belajar memasak. Entah bagaimana pun rasanya, toh dia tetap menghabiskannya. 1
Aku teringat dengan nasihat ustaz yang mengisi tausiah usai akad nikah waktu itu. Ingat-ingatlah kebaikan suamimu agar kamu selalu bersyukur dengan apa pun keadaannya. Setelah berusaha kurenungkan, betapa banyak kebaikan dari Arion yang terkadang luput dari perhatianku. Dia suami yang baik untukku. Meskipun dia bukan tipikal suami yang menggandeng tangan istrinya saat berjalan di luar atau sampai membukakan pintu mobil dan memasang seat belt, tapi dia adalah sosok suami yang dipertemukan Allah untuk melengkapiku. 1
"Apa ... Abang besok ada waktu?" Di tengah makan yang belum selesai ditandaskan, aku memberanikan bertanya pada Arion.
Arion mengangkat kepala, menatapku lekat. Dahinya tampak berkerut tipis. "Besok?"
"Hm."
Besok hari Sabtu. Arion libur bekerja. Meski libur, dia terkadang harus keluar kota karena ada acara lain.
"Aku besok ngisi seminar di UI."
"Ooh." Aku mengangguk pelan. Tadinya, aku berinisiatif mengajaknya keluar. Aku harus menurunkan ego, laki-laki yang harus memulai lebih dulu. Hubungan kami tidak akan mengalami kemajuan jika kami berdua sama-sama pasif.
"Memangnya kenapa?"
Aku menggeleng, lalu tersenyum hambar. "Nggak apa-apa." Pada kenyataannya, aku masih seperti perempuan pada umumnya. Ada rasa gengsi jika aku yang harus memulainya lebih dulu.
"Tapi, setelah seminar selesai, waktuku kosong."
Arion seperti mengerti kemurunganku. Air mukaku mendadak semringah. Ini kesempatan langka. Aku harus bisa memanfaatkan kesempatan ini sebaik mungkin. "Apa ... hm ... Abang mau kalau kita pergi keluar?"
Alisnya terangkat sebelah. "Pergi keluar?"
Aku mengangguk penuh semangat. Jika bukan aku yang berinisiatif lebih dulu, mungkin kehidupan pernikahan kami tidak ada cerita: kami pergi ke suatu tempat, kencan berdua seperti pasangan lainnya. Padahal ke mana pun, asal bisa berdua dengannya, aku sudah bahagia.
"Memangnya mau ke mana?"
"Hm ... mungkin kita bisa pergi nonton? Atau ke mana gitu?"
Arion terdiam sebentar. Seperti tengah menimbang-nimbang. Senyumnya lantas terulas lebar. Lalu, dia mengangguk tanda menyetujui ajakanku.
Aku tersenyum semringah. Aku ingat sebuah quote, bahagia itu kita sendiri yang menciptakannya. Aku tidak mau terus-terusan seperti ini tanpa bergerak sama sekali. Jika aku ingin kehidupan pernikahanku bahagia, maka akulah yang harus melukisnya dengan beraneka ragam warna. 10
Aku memahami pasanganku yang pasif. Jika aku sama pasif dengannya, kehidupan pernikahan kami mungkin hanya akan seperti saja.
"Tunggu." Saat aku hendak menaruh piring ke wastafel, Arion menahan lenganku.
"Kenapa?"
"Aku belum memberimu rapot," terangnya dengan mengulas senyum. Lelaki itu bergerak menuju ruang tengah. Dia mengambil sesuatu yang ada di meja samping sofa, lalu kembali mendekatiku.
"Mana tanganmu?"
Aku belum mengerti apa maksudnya. Karena hanya bergeming, diraihnya tangan kiriku lembut. Lalu, dia mulai menulis sesuatu di telapak tanganku.
Meski posisinya terbalik, aku bisa membaca apa yang tengah ditulis Arion.
Rapor untuk masakan istriku
85
🌟🌟🌟🌟🌟 4
Aku terpaku. Arion tidak lagi menulis nama lengkapku di rapor kedua. Dia menyebut "istriku".
Is-tri-ku. Dalam hati, aku mengejanya pelan.
Jika ini di dalam novel, penulis mungkin akan menggambarkan ada kupu-kupu yang beterbangan di perut sang tokoh perempuan. Tapi, aku tidak mau memberi perumpamaan klise seperti itu. 5
Saat ini aku merasa seperti berada di tengah taman Inokashira yang dikelilingi ratusan pohon sakura yang bunganya mekar sempurna ketika musim semi tiba. Aku berdiri di pinggir jembatan Nanai ditemani Arion yang berada di sisiku. Desau angin menerbangkan kelopak bunga berwarna putih cerah itu hingga jatuh ke tepian danau. Dari kejauhan, bunga-bunga sakura yang menyentuh permukaan danau seakan seperti kembang api neon yang berkerlap indah karena terpaan sinar matahari.
Ya, seperti itulah hatiku saat ini. 2
Ada harapan yang mulai tumbuh di dalam sana. Sebuah harapan yang berbalut keyakinan yang kuat.
Arion menginginkan pernikahan ini. Sorot matanya yang menatapku lekat seakan mengatakan itu kepadaku. Entah bagaimana perasaannya sekarang, aku yakin, hatinya mulai menyambutku.
Tinggal selangkah lagi. Dan dia akan sepenuhnya mencintaiku. 10
Tbc
***
Anggap saja bintang yang dikasih Arion itu warnanya item, ya. Kan cuman pakai tinta warna item. Karena nggak ada icon bintang warna item, jadinya gitu deh. Wkwkwk. 6