Epilog Not a Dreaming Marriage (Completed)

Dear Shenina ....”

Baru kutulis satu garis tegak lurus, gerakan tanganku terhenti. Aku menghela napas sebentar. Lalu, memandang ke arah teman yang duduk di sampingku. “Kenapa nggak kamu tulis sendiri, sih?” 6

Aku tidak bisa memungkiri jika aku sebenarnya kesal dengannya. Namun, dia selalu berhasil membuatku pasrah dengan permintaan konyolnya itu.

“Lo tahu sendiri gimana ancurnya tulisan tangan gue, kan?”

Ya, aku tahu tulisan tangan dia memang mirip dengan cakar ayam. Bahkan, tulisan seorang dokter saja masih bisa dibaca ketimbang tulisan tangannya.

“Tapi, seenggaknya kamu bisa usaha sendiri.”

“Lo pikir gue nggak usaha apa? Gue pengin dia terkesan sama ketulusan hati gue. Bukan malah ilfil sama tulisan tangan gue.”

“Tapi, itu menunjukkan kamu malah nggak jujur dari awal.”

Dia berdecak. “Sebenernya lo ikhlas bantuin gue nggak, sih?”

“Bukan soal nggak ikhlas.”

“Ya, udah. Tulis lagi, gih!”

Aku mendesah panjang. Mau tidak mau aku kembali menulis apa yang dikatakannya, meskipun dengan setengah hati. 2

Sudah lama ....

“Aku cinta kamu.”

Gerakan tanganku kembali terhenti lagi ketika dia mengucap kalimat itu. Aku memejamkan mata seraya menarik napas dalam-dalam. 1

“Kok, berhenti?”

Aku beralih memandang ke arahnya. “Sebenarnya aku nggak setuju yang namanya pacaran, Di. Bentar lagi kita juga mau UN.” 1

Dia tertawa dengan nada mengejek. “Repot juga kalau minta bantuan sama Pak Ustaz, ya?” Dia membuang napas kasar. “Gue harus ngomong berapa kali lagi ke lo kalau gue nggak mau nembak dia? Gue cuman mau jujur sama perasaan gue. Itu aja, Ustaz Rion. Paham?” 2

“Seharusnya kamu bisa tulis sendiri.”

Dia kembali mendengus. “Muter ke situ lagi?” Dia menunjuk-nunjuk ke secarik kertas di depanku. “Lo udah nulis setengah bagiannya, terus lo nggak nyelesain sekalian?” 1

Aku mendesah. Untuk kesekian kalinya dia berhasil membuatku tak bisa berkata-kata lagi. Meski terasa berat, aku tetap menyelesaikan—yang menurutnya—curahan isi hatinya itu.

Saat aku hendak membubuhkan namanya, dia tiba-tiba menarik kertas itu. 1

Aku sontak memandangnya heran. “Gue bisa tulis sendiri nanti. Bukannya lo bilang seenggaknya gue ada usaha? Minimal gue nulis nama gue sendiri,” terangnya seakan mengerti tatapan heranku. 1

Dia mengambil sebuah amplop merah hati dari dalam lacinya. Melihat warnanya aku hanya menggeleng-geleng tak percaya, dia sampai melakukan hal paling konyol seperti ini. Padahal aku tahu dia begitu benci dengan warna itu.

Thanks bantuan lo. Lo emang sohib gue yang paling baik,” katanya seraya menepuk bahuku pelan. Dia lantas berdiri, lalu berjalan menuju pintu keluar kelas.

Kadang aku merasa heran sendiri bagaimana kami yang bertolak belakang ini bisa berteman dekat. Mungkin karena pribadinya yang supel itu yang membuatku bisa berkawan baik dengannya. Meski terkadang konyol, aku harus mengakui jika dia adalah teman yang menyenangkan ketika diajak berdiskusi bersama.

“Oh, ya?” Saat sudah sampai di ambang pintu, dia kembali menoleh kepadaku. “Lo nggak makan di kantin?”

Aku menggeleng. “Aku bawa bekal sendiri.”

[EXTRACT]

“Anak baik pasti dibekalin sama nyokapnya,” sindirnya sebelum melenggang pergi.

Aku hanya tersenyum kecil. Dia tidak tahu saja jika bekal makan yang sering kubawa bukan ibuku yang membuatnya. Melainkan .... 3

Lagi-lagi hanya sebuah senyum kecil ketika mengingat siapa yang selalu membekaliku dengan makan siang. Kubilang “selalu” bukan berarti aku mendapat bekal makan siang setiap hari.

Biasanya hanya saat dia menginginkannya.

“Maaf, ya, Tante hari ini nggak bikinin bekal makan siang. Vita lagi nggak mau bawa bekal. Katanya, dia pengin makan batagor di kantin sama temen-temennya. Makanya, Tante nggak buatin.” 5

Saat aku keluar dari pagar rumah, biasanya mamanya gadis itu sudah berdiri di depan pagar rumahnya. Entah mengatakan tidak bisa membuatkan bekal makan siang atau memberikan bekal makan siang untukku.

Dan pagi tadi, aku harus kembali mengalami hal menggelikan seperti yang terjadi sebulan lalu.

“Anak itu, ya, kalau ambil nggak pernah diteliti dulu. Udah dibilangin punya dia yang warna hijau. Bukan yang warna biru,” omel mamanya ketika dia terpaksa memberikan kotak bekal—yang seharusnya dibawa gadis itu—kepadaku.

“Kalau goodie bag-nya nggak pakai motif kesukaannya pasti ada aja kelirunya,” terang mamanya lagi karena merasa tidak enak denganku.

Sebenarnya agak memalukan juga ketika aku harus membawa kotak bekal makan—miliknya—di sekolah. Namun, melihat bagaimana ketulusan mamanya yang memberikan bekal makan siang itu untukku, rasanya aku tidak sampai hati jika harus menolaknya.

Ketika sampai di sekolah, aku bisa saja menukar kotak bekal makan itu dengan miliknya. Namun, saat ini, aku tidak berniat menukarnya lagi.

Bulan lalu, di hari yang sama, saat istirahat pertama, aku mendatangi kelasnya untuk menukar kotak bekal yang tertukar. Ketika sampai di dekat pintu kelasnya, aku urung menyapanya saat kulihat dia tengah menyantap bekal makan siang (tapi, malah sudah dimakan saat jam istirahat pertama). 3

“Habis pelajaran Matematika bikin otakku makin buthek. Terus jadinya malah laper, deh.” Itu yang dikatakannya ketika temannya mengomentari dia yang mencuri start makan siang. 1

Aku hanya tersenyum geli ketika mengingat itu.

Saat itu, aku harus merelakan bekal makan siangku dihabiskan olehnya. Sementara, aku terpaksa harus makan bekal—yang seharusnya menjadi—miliknya.

Aku meringis pelan ketika mengeluarkan sebuah kotak makan dari dalam goodie bag. Sudah bisa kutebak kotak makan seperti apa yang dimiliki gadis itu.

Sebuah kotak makan berwarna pink dengan karakter Hello Kitty di bagian penutupnya kini bergeming di depanku. Kotak makan ini sepertinya berbeda dari bulan lalu. Entah berapa kotak makan bermotif serupa yang dimiliki gadis itu. 1

Sesekali aku melirik ke pintu. Meski ini kedua kalinya bagiku, tapi aku tak ingin salah satu temanku memergokiku. Apalagi Ghandi. Mungkin dia akan tergelak karena mengetahuiku makan dengan kotak bekal seperti ini. 2

Aku baru menghela napas lega ketika akhirnya bisa menghabiskan makan siangku tanpa diketahui salah satu dari mereka. Karena tak ingin ketahuan, buru-buru kumasukkan kotak makan itu ke dalam goodie bag, lalu menaruhnya ke dalam laci.

Masih ada waktu sepuluh menit lagi yang masih tersisa. Aku bergegas keluar kelas untuk menunaikan salat Zuhur. Biasanya aku akan mengerjakan kewajibanku dulu sebelum makan siang. Namun, kali ini aku terpaksa harus makan dulu karena tidak ingin ada teman yang memergokiku karena makan dengan kotak makan berwarna pink—dan bergambar Hello Kitty.

[EXTRACT]

Saat berbelok menuju lantai satu aku hampir saja bertabrakan dengan gadis itu. Dia tampak terkejut melihatku.

“Ma-af,” ucapnya dengan kepala menunduk. Dia lantas bergeser ke kanan, lalu berlalu melewatiku.

Aku terpaku sejenak. Jika aku tidak salah melihat, dia seperti habis menangis. Mata bulatnya itu terlihat sedikit membengkak. Ujung hidungnya yang mancung itu juga tampak memerah. 2

Aku menoleh ke arahnya. Dia terus berjalan menyusuri koridor. Langkah kakinya terlihat dipercepat.

Sebenarnya aku ingin menyusulnya, lalu bertanya ada apa. Tapi, hubungan kami belum sedekat itu. Dia bisa akrab dengan kedua kakakku, tapi tidak denganku. 2

Tiap kali kami berpapasan, dia hanya menyapaku sekadarnya, lalu buru-buru melewatiku. Jika mata kami tak sengaja bersitatap, dia sekadar mengulum senyum kikuk, lalu cepat-cepat mengalihkan pandangan.

Karena sikapnya itu, sejujurnya aku bingung bagaimana harus memulai pembicaraan dengannya. Kami bertetangga dekat, berada di sekolah yang sama, dan terkadang juga melewati jalan yang sama, namun itu tidak menjadikan kami lebih dekat. Aku merasa ada sebuah sekat di sana. Dan sekat itu serasa nyata ketika dia tidak lagi memanggilku dengan panggilan seperti biasanya saat mengucap maaf barusan.

Seolah dia menganggapku seperti orang yang bukan dikenalnya. Seperti orang yang asing baginya.

“Kak Arion ....”

Suara seseorang mengalihkan perhatianku. Saat aku kembali berbalik, aku mengernyit sejenak. Aku tidak mengenal gadis ini. Tapi, aku sedikit tahu soal dia karena Ghandi sering bercerita tentangnya. Dia adalah sosok yang namanya kutulis dalam surat yang akan dikirimkan oleh Ghandi. Gadis yang disukai sahabatku. 4

Aku menunggunya berbicara, namun gadis itu hanya tersenyum malu-malu. Beberapa saat dia hanya bergeming dalam ekspresi seperti itu. Saat kemudian dia mulai bersuara.

“Aku ... hm ... udah baca suratnya, Kak.” 1

Kernyitan di keningku terasa semakin kentara. Aku belum mengerti dengan apa yang dibicarakannya.

Surat?

Baru dua detik kemudian, otakku mulai mencerna soal surat itu, lalu menghubungkan dengan ekspresi wajah gadis itu yang tampak malu-malu.

Aku termangu sesaaat.

Guru-guru, bahkan semua murid di sekolah ini memang mengakuiku sebagai murid yang paling pintar. Tapi, nyatanya aku malah terjebak dalam sesuatu yang konyol. 1

Seharusnya aku sudah curiga ketika Ghandi tiba-tiba menarik surat itu saat aku hendak menulis namanya. Tapi, aku malah membiarkannya begitu saja. 1

Sebelum aku sempat menggerutu, pikiranku secepat kilat teringat pada satu sosok yang kuharap dia tidak sampai mendengar kekonyolan ini. 5

Ketika aku kembali menoleh, embusan napas lega keluar begitu saja dari mulutku. Entah bagaimana menggambarkan hatiku saat ini. Semula ketika spontan mengingatnya, terasa seperti ada sebuah benda keras yang menekannya kuat-kuat. Namun, saat kulihat tidak ada dia di sepanjang koridor ini, impitan itu seakan melenyap begitu saja. 3

“Aku nggak nyangka Kak Arion kirim surat itu ke aku.” 3

Perhatianku kini kembali pada gadis itu.

Meski impitan itu sudah menghilang, nyatanya aku dihadapkan pada masalah baru. 

“Aku ....”

Aku tidak terlalu memperhatikan bagaimana air muka gadis ini. Tapi, sekarang aku bisa melihat kedua pipinya itu bersemu merah.

Dia memandangku dengan sorot mata yang tidak bisa kugambarkan di balik tatapannya itu.

“Aku ... juga suka sama Kak Arion.” 1

Sesuatu yang keras itu kembali menekanku. Aku tahu, Ghandi mungkin yang harus bertanggung jawab untuk meluruskan semua kekonyolan yang sudah diperbuatnya itu. 3

Namun, saat ini, otakku seolah buntu untuk menemukan kata-kata yang pas agar tidak sampai menyinggung gadis ini. Aku harus menjelaskan yang sebenarnya kepadanya. Permainan Ghandi harus segera diakhiri sekarang sebelum semuanya menjadi semakin rumit. 1

Tapi ... bagaimana aku harus berterus terang pada gadis ini? 8

***

Omooooo omooooo nggak bisa bayangin Yoyon makan pake wadah Hello Kitty. 😝😝😝

Kasihan Shenina, udah ke-GR-an, padahal kenal aja juga kagak. 🤣🤣 15

Btw, saya buat kesalahan di part 7 soal karakter Ghandi. Aslinya Ghandi gaya ngomongnya ya kayak gitu. Kalau baca ulang, udah di-edit, kok. Maklum, qilap. 😪 1

Masih ada satu extrapart lagi, ya. Diem-diem saya mulai nulis part baru dengan ngeliat vote. Nggak sampai netapin goal vote. Karena sekarang cuman ngarep yang dukung tulus ajah. 🤭 Tapi, paling nggak kalau mau up lagi, vote nggak sampai nyungsep jauhlah. 🤭 10

Btw, udah tahu sekarang Arion aslinya gimana, kan? 7

Yang pada ketipu sama asumsinya Lovita, cung! 😆 37

[EXTRACT]
Lanjut...
[EXTRACT]
Kukira sudah ada extra partnya 😣

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Wait :

Below Post Ad