Sudah melewati lebaran, rasanya belum telat untuk ngucapin ini, ya.
Taqabbalallahu minna wa minkum. 17
Mohon maaf jika selama ini ada kata-kata atau sikap yang mungkin menyinggung atau kurang berkenan, ya. Maafin juga kalau ada DM yang nggak dibalas. Mungkin karena luput atau lupa dibalas. Atau mungkin cuman nanya kapan update. Kalau sekadar nanya update emang nggak sampai dibalas. 🙏🤭 5
Happy reading!
***
“Jadi ... Abang itu stalker-ku?” 1
“Stalker?!” Alisnya tampak bertaut. Keningnya itu juga terlihat berkerut. Sejurus kemudian, dia lantas tertawa pelan. “Dari sekian kemungkinan kenapa yang terpikir malah stalker, sih? Memang aku sekurang kerjaan itu sampai nguntitin kamu terus?” 2
Aku seketika manyun. Jawabannya itu benar-benar tidak ada manis-manisnya. Ah, aku harus ingat kalau dia adalah laki-laki realistis, bukan pria sempurna seperti dalam dunia fiksi. 1
“Kalau bukan stalker, kenapa Abang banyak tahu soal aku?” 1
Dia memasang wajah polos. “Memang iya, begitu?” 3
Kan? 1
Jangan mengharap jawaban semanis gula darinya. Yang ada kamu hanya akan dikasih garam halus. Asin! 3
Dia tersenyum kecil. “Dari SD sampai SMA kan kita selalu di sekolah yang sama. Rute jalan dari rumah ke sekolah juga sama, jadi nggak nutup kemungkinan kalau aku kadang berpapasan denganmu. Mungkin juga aku berada di depanmu atau aku yang berada di belakangmu.” 6
Ya, kenyataannya kita memang melewati jalan yang sama. Kita juga berada di tempat yang sama. Dan menghirup udara yang sama. 1
Terkadang kami juga menaiki bus yang sama. Bahkan, sebelum dia kuliah di luar negeri pun, kamar kami bersisian dengan jendela saling berhadapan. Saat pagi hari hingga terbenamnya matahari, jendelaku hampir selalu terbuka. Sementara tidak dengan jendela kamarnya. Meski selalu tertutup, aku tahu itu kamarnya karena sebelah kamar yang lain—yang ada balkonnya—itu sudah ditempati Nessa. 1
Kadang aku bertanya-tanya sendiri, mengapa jendela kamarnya itu selalu tertutup? Apa kamarnya tidak pengap? Ya, meskipun aku tahu, jendela itu kadang dibuka sedikit, tapi tetap saja membuat sirkulasi udara dalam kamar kurang sehat. Apalagi dia jarang membukanya, biar pun hanya sedikit. Mungkin hanya dua hari sekali dia membuka—sedikit—jendelanya.
“Tapi, kenapa Abang nggak nolongin aku waktu itu? Aku yakin, bukan sekali itu Abang tahu aku kena ejek temen-temen sekelasku.” 1
“Kadang peduli itu nggak harus dengan nolongin dia.” 4
Dan itulah jawaban dia yang begitu realistis. Mendengar jawabannya itu, aku hanya bisa ternganga sendiri. Jika itu terjadi di dalam novel, sudah pasti author akan membuat si tokoh laki-laki menjadi pahlawan bagi si gadis kecil. Tapi, dia? Dia malah memilih membiarkanku dan mengatasinya sendiri. 2
Good!
“Sebenarnya pas aku tahu kamu hampir menangis, saat itu juga aku langsung berjalan ke arahmu. Tapi, sebelum sampai di dekatmu, temanmu itu malah sudah mendahuluiku,” ungkapnya seraya tersenyum geli. 2
Aku tertegun.
Jadi, waktu itu dia juga ingin menolongku? Tapi, saat itu, takdir belum mengizinkan dia masuk dalam kisah hidupku. 3
“Terus ... waktu Abang tahu aku terpaksa masuk ke selokan, kenapa Abang nggak bantuin aku?” 1
“Gimana mau bantuin, orang kamu waktu itu sudah naik ke atas?” 8
Rupanya, setelah sekian waktu berlalu pun, takdir belum juga berpihak pada kami. Hingga bertahun kemudian, takdir menyatukan kami dalam sebuah ikatan pernikahan. Namun sayangnya, aku malah salah membuat premis cerita pernikahan kami; seorang CEO terpaksa menikahiku karena perjodohan padahal dia mencintai perempuan lain. 2
Pembaca mungkin menunggu adegan aku menjambak rambut perempuan itu. Atau aku yang menumpahi kopi hitam di atas kepalanya. Lalu, aku memutuskan pergi jauh, sementara Arion berlari di tengah hujan yang turun dengan derasnya ditemani suara petir yang terus menggelegar, demi mengejarku kembali. 8
Ah, itu terlalu drama sekali. 1
Adegan seperti itu mungkin malah jadi bolong logika karena pada kenyataannya, sejak dulu laki-laki ini—diam-diam—hanya melihatku. Saat di panggung tadi, ketika MC menanyainya tentang gadis kecil itu, bagaimana gesture dan ekspresi wajahnya sudah cukup memberikan jawabannya. 1
Aku yakin, sebelum denganku, dia tidak pernah menjalin hubungan dengan perempuan mana pun—apalagi perempuan itu. Jika iya, pasti ketika ditanya siapa gadis kecil itu, dia akan lugas menjawabnya di depan banyak orang. Bukan malah tersenyum kikuk, mengusap tengkuk beberapa kali, lalu melirikku. 2
Itu adalah reaksi laki-laki yang baru pertama kalinya jatuh cinta. Entah kapan dia mulai menaruh hati padaku, tidak mungkin seorang laki-laki yang punya hubungan sebelumnya bereaksi seperti itu. Ekspresinya seakan menjelaskan dia tidak berpengalaman dalam menjalin kasih sebelumnya. 3
Analisisku benar, kan? 10
Aku jadi teringat mengapa dia sampai membuat kesalahan fatal karena tidak menyebutku saat penerimaan award waktu itu. Alasannya benar-benar konyol; karena dia bingung bagaimana harus menyebutku di depan umum. 1
Dan Shenina, rupanya paham bagaimana karakter Arion. Inilah mengapa dia yakin kalau Arion tidak akan menyebutku saat berada di depan khalayak orang. 2
Aku spontan tertawa geli sendiri.
“Kenapa?”
Aku hanya menggeleng. Masih dengan senyum yang geli. Padahal di atas sana, aku tahu ada lautan gemintang yang berkelip indah malam ini.
Jika Jakarta sampai bertabur bintang itu adalah momen yang sangat langka. Polusi udara dan cahaya membuat langit Ibu Kota ini begitu pongah. Saking pongahnya sampai kami jarang sekali bisa menemukan taburan bintang seperti di kota-kota kecil lainnya. Tapi, betapa pun memesonanya langit malam ini, tidak ada satu pun kilau bintang yang bisa menandingi pesona bintang yang berdiri di sebelahku ini.
“Aku penasaran di Twitter yang lagi trending apa.” Mengingat itu, aku buru-buru mengambil ponsel di dalam sling bag-ku. Saat acara berlangsung tadi, aku sempat mengecek kalau tagar #KelasSeruFestival jadi trending topic dan berada paling atas di Twitter. Di bawahnya ada nama Arifin dan Haidar. 1
Begitu aku membuka aplikasi Twitter, aku seketika tercengang. Tagar #KelasSeruFestival sudah tidak lagi berada di posisi puncak. Sekarang posisinya tergantikan oleh yang lain.
1. #ArionLovitaCoupleGoals101.4 K Tweets
Aku sampai menutup mulut dan mengerjapkan mata beberapa kali saking tidak percayanya. Bagaimana bisa nama kami berdua justru menduduki tren nomor 1 di Twitter?
Ah, aku jadi teringat ketika Agni mengedipkan matanya padaku. Aku yakin dia yang berada di balik tagar ini. 1
“Kenapa?”
Dari ujung mataku, kulihat Arion ikut menengok ke layar ponselku.
Aku tersenyum bahagia tanpa menatapnya. “Nama kita trending.” 1
“Astaga ....” 1
Aku sontak menoleh. Senyumku melenyap ketika kulihat dia mengusap keningnya dengan jemari besarnya. “Kenapa? Abang nggak suka?” 1
“Bukan nggak suka. Tapi, kenapa juga harus konten seperti itu yang malah banyak dibicarakan, sih?” 1
Aku mendesah pelan, lalu menghadap ke arahnya. “Justru konten yang kayak gini itu bakalan cepet ramainya, Abang. Nih, lihat! Dalam waktu sejam aja udah 101,4 ribu tweet,” tunjukku ke layar ponsel. 1
Arion menghela napas. “Yang ada malah KelasSeru Festival cepat tenggelam karena konten seperti itu, Ta. Seharusnya aku paham gimana karakter netizens.” 1
Aku mulai kesal. “Jadi Abang nyesel karena udah setuju sama usulku?” 2
“Bukan nyesel, sih.”
“Terus?”
Aku kembali menunjukkan layar ponsel. “Coba Abang lihat! Nomor dua sampai lima semua tentang KelasSeru Festival. Jadi, Abang nggak perlu khawatir kalau bakal tenggelam.” 1
Arion kini hanya diam.
“Lagian nih, ya. Justru bagus kalau nama kita yang viral. Abang bakalan diinget sebagai CEO KelasSeru yang romantis. Yang cinta sama istrinya. Yang diriin KelasSeru karena terinspirasi sama kisah istrinya.” Aku tiba-tiba tersenyum sendiri ketika mengatakan itu. 5
Sementara laki-laki yang berdiri di belakang pagar beton ini malah tertawa pelan seraya menutup wajahnya dengan sebelah tangannya. 1
Karena rasa penasaranku belum usai, aku kembali menyalakan layar ponsel. Begitu membuka Instagram langsung muncul video cuplikan saat MC bertanya pada Arion siapa gadis kecil itu. Melihat senyum kikuknya, lalu mengusap tengkuknya, kemudian melirik ke arahku membuatku geli sendiri.
Video
1,009,560 views. Liked by drdavinaagniarundati Gw adalah orang ketiga dari pasangan ini. Gw yakin banget, waktu itu dia juga mau nolongin si gadis kecil. Tapi, dia kalah cepet ketimbang gw yang dateng duluan. Setelah belasan tahun berlalu, pada akhirnya takdir menyatukan mereka. Buat gw, nggak ada cinta yang lebih manis ketimbang cinta dalam pernikahan. Karena romantis itu adalah menikah! ❤️#ArionLovitaCoupleGoals#CoupleGoals#KelasSeruFestival
View all 4,370 comments saniabknmyk Kalo lo masih penasaran sama suara dentuman misterius yang nggak terpecahkan sampai sekarang. Nggak usah lo nuduh mas-mas jualan bak itu. Karena dentuman itu asalnya dari ati gw!!!!! 😭😭😭😭 5
Aku seketika tertawa membaca komentar yang terlihat sendiri tanpa kubuka semua komentarnya. Nama akun ini tidak asing bagiku. Sepertinya dia sering meninggalkan komentar di posting-anku. 1
“Sudah kuduga dia yang berada di balik tagar itu.”
Rupanya Arion ikut penasaran sampai dia melongok ke layar ponselku.
Aku nyengir. “Aku yakin, nama kita bakalan menuhin portal-portal online itu. Besok pagi, mungkin acara-acara infotainment itu pasti bakalan ngomongin kita.” Sejurus kemudian, aku spontan terbeliak. “Jangan-jangan mereka malah ngundang kita jadi bintang tamu lagi.” 1
“Astaga ....” Arion kembali menutup mukanya dengan sebelah tangannya. 1
Aku hanya tersenyum geli melihat reaksinya ini. Tidak terbayang jika orang sepertinya sampai jadi bintang tamu di acara infotainment bersamaku. Andai diundang pun, aku paham benar jika dia pasti akan tegas menolaknya. 1
“Aku yakin Abang bakalan jadi makin dikagumi sama mereka. Apalagi KelasSeru didirikan karena kepedulian Abang sama anak-anak yang kehilangan rasa percaya dirinya.” 1
Di depanku saat ini, lampu-lampu gedung tinggi bersinar di tempatnya masing-masing. Pendar cahayanya seolah mewakili suara mereka. Saat siang hari, cahaya lampu itu padam. Ketika itu, semua orang mungkin mengabaikan keberadaannya. Tapi, lihatlah ketika malam hari. Semua orang membutuhkan cahayanya. Sebuah lampu yang diabaikan saat siang hari, nyatanya sangat dibutuhkan di waktu yang tepat.
Begitu pun dengan mereka. Pada waktunya nanti, mereka juga akan bersinar dengan pesonanya masing-masing. 1
Aku menoleh pada laki-laki yang dari ujung mataku sudah menatapku sejak tadi. “Makasih untuk 'i wanna see you be brave'-nya,” kataku seraya tersenyum lebar. 1
Dia membalas senyumku tak kalah lebarnya.
“Aku mungkin belum menemukan bintangku di luar sana. Tapi, saat ini, aku cuman mau jadi bintang untuk suamiku dan anak-anak kita kelak.” 2
Dia meraih tanganku. Lalu, menautkan jemari besarnya di sela jemariku. “Buatku kamu sudah jadi bintangku sejak dulu.” 5
Aku pura-pura memasang wajah polos. “Oh, ya? Sejak kapan?” 2
Dan dia hanya tersenyum kecil seraya mengalihkan pandangan pada lautan gemintang di atas sana.
Aku mengikuti arah pandangnya. Sesekali juga meliriknya. Sudut bibirku terangkat sebelah ketika sebuah ide terlintas di benakku. Dengan sedikit berjinjit, kukecup lembut pipi laki-lakiku ini. 2
Dia sedikit berjengit. Rupanya gerakanku yang tiba-tiba ini mengejutkannya. Saat aku menurunkan tumit, dia menoleh kepadaku. Tangan kanannya menyentuh pipinya. Lalu, pandangannya mengitari ke seluruh atap gedung ini. Sebelum akhirnya kembali menatapku. 2
Aku tersenyum geli sendiri. “Nggak mungkin ada orang di sini pas jam segini. Semisal ada juga, aku yakin semua penghuni gedung apartemen ini tahu kalau kita udah nikah.” 1
Dia sudah menurunkan tangannya. Sejurus kemudian, dia tertawa sekilas. Hanya sebuah tawa yang tidak sampai terdengar suaranya. Embusan napas yang beriringan keluar dari hidungnya seolah menggantikan suara tawa itu. Ya, dia memang sering tertawa dengan cara seperti itu. 1
“Itu reward karena Abang udah kasih semangat buat aku lewat lagu Brave,” ucapku seraya mengulumkan senyum. 1
Dia mengernyit tipis. “Reward?”
“He’em.” Anggukanku mempertegas jawabanku.
“Jadi cuman itu reward-nya?” 3
“Emang Abang mau reward apa lagi?” sungutku kemudian.
Dia hanya tersenyum kalem. Sekilas tampak biasa. Tapi, dari sorot matanya, aku tahu kalau tatapannya itu mengandung sesuatu. 2
Aku berdecih pelan saat menyadari apa yang ada di balik mata legamnya itu. Ya, sekalem-kalemnya dia, dia tetaplah pria normal. 2
“Tapi, ada syaratnya.”
“Kenapa harus ada syaratnya, sih?” 1
“Mulai malam ini, panggil aku dengan panggilan khusus. Jangan ‘Ta’! Masa Abang yang suamiku manggilnya sama kayak temen-temenku? Kan, aneh.” 2
“Aneh di bagian yang mana?”
“Jelas aneh. Misal ada cowok lain yang manggil aku ‘Ta’, entar aku ngira itu Abang gimana?” 1
Senyumku tertahan saat kulihat air muka laki-laki ini yang berubah datar.
“Memangnya aku harus panggil kamu apa?”
Tanganku merangkul lengannya. Lalu, sengaja memasang puppy eyes. “Panggil aku ... ‘Cinta’.” 3
Dia terdiam sejenak. Tatapannya itu menekuri mataku. Sejurus kemudian, dia mengalihkan pandangan seraya tertawa lirih.
Aku spontan melepas rangkulan tanganku. Lalu, mengembuskan napas kesal.
“Aku lebih suka panggil kamu pakai nama karena itu lebih menunjukkan siapa dirimu.” 1
Aku menghela napas pelan. Urusan panggil memanggil saja bisa panjang kalau kedua belah pihak tidak saling mengalah. “Kalau gitu panggil aku 'Lov', itu juga namaku.” 2
Selama ini, tidak ada satu pun orang yang berani memanggilku “Lov” karena sudah pasti dia akan kena lemparan sepatu dariku. Meski itu namaku, “haram” hukumnya jika ada laki-laki lain selain suamiku yang nekat memanggilku seperti itu. 1
“Tapi, aku lebih nyaman panggil kamu 'Ta'.”
Aku memandangnya kesal. Seharusnya aku tahu kalau akhirnya akan begini. “Terserah Abang mau manggil aku apa,” kataku dengan nada datar. 1
Aku lantas berbalik. Lebih baik aku kembali ke apartemen saja ketimbang mengharap dia mengubah panggilannya.
“Mau ke mana, sih?” Dia menahan lenganku.
“Ya, turun. Ngapain juga lama-lama di sini?” Nada suaraku mulai terdengar ketus.
Aku bergegas berjalan menjauhinya. Namun, baru tiga langkah dia sudah menarik pelan tanganku.
“Lov ....” 12
Aku enggan berbalik. Susah payah aku mempertahankan raut mukaku agar tetap terlihat cool. Setelah aku bisa menguasai diri, perlahan tubuhku berputar menghadap ke arahnya.
“Abang panggil aku apa tadi? Itu manggil namaku atau lagi dzikir?” Aku berdeham pelan. “Coba Abang ulang lagi biar aku kedengeran.” 4
Dia menatapku lelah. Desahan pelan keluar dari mulutnya.
Dalam hati, aku tertawa lepas melihat bagaimana ekspresi wajahnya saat ini.
“Kamu itu memang paling bisa bikin aku kayak gini, ya?” 1
“Kenapa? Abang nggak mau ngulang?”
Dia menghela napas panjang. Dengan pelan, tangannya kembali menarik tanganku agar sedikit mendekat ke arahnya. Jarak kami kini hanya selisih dua jengkal saja.
Dia menatapku lembut. Beberapa saat hanya ada keheningan yang ditingkahi embusan angin malam. Aku menunggu dia mengulangi memanggilku dengan panggilan baru itu. Dalam hati aku berhitung.
Satu ... Dua ... Tiga.
“Lov ....” 1
Tawaku pada akhirnya pecah juga. Seharusnya momen seperti ini akan berakhir romantis. Tapi, aku membuyarkan semua karena sudah tidak tahan untuk menyemburkan gelakku.
“Berarti lain kali, aku harus sering-sering mancing Abang biar mau ngelakuin yang aku minta,” ungkapku setelah tawaku mereda.
Aku tersenyum geli ketika dia hanya menatapku pasrah. Aku kembali melingkarkan tanganku ke lengannya. Lalu, mengajaknya berjalan mendekati pagar beton. Kembali seperti posisi kami semula.
Atap gedung ini selalu menjadi tempat favorit kami selain balkon. Di sinilah, kami bisa leluasa menatap langit yang seringkali hanya berupa hamparan tanpa bintang. Lalu, lampu-lampu jalan atau pun gedung-gedung pencakar langit yang berdiri angkuh di malam hari.
Sesederhana itu kami mengukir bahagia.
Sesederhana itu pula aku menyebutnya, apa pun asal bersamanya itu romantis. 1
Dulu, kupikir, romantis itu, dia memberikan sebuket bunga, lalu kami makan malam ditemani temaram lilin.
Dulu, kupikir, romantis itu dia memakaikan jaketnya untukku, lalu dia memelukku dari belakang.
Dulu, kupikir, romantis itu, dia membukakan pintu mobil, lalu melepas sabuk pengaman untukku. Kemudian, dia menggendongku ala bridal style tanpa membangunkanku.
Semua yang kubayangkan dulu, tak ada satu pun yang pernah dilakukan suamiku. 1
Satu pun tidak ada.
Tapi, aku bahagia bersamanya.
Bagiku, cukup dia menjadi dirinya sendiri, lalu mencintaiku dengan cara sederhana itu sudah membuatku bahagia. 3
Ya, karena aku tahu, suamiku bukan laki-laki dalam dunia fiksi yang perlakuannya serba manis. 2
Sebagai sosok riil, dia terkadang akan bersikap manis, sesekali bertingkah menyebalkan atau bisa jadi malah membuatku jengkel. 1
Kadang, kami pun berdebat tidak penting, lalu beberapa menit kemudian akan kembali berbaikan.
Kadang, dia kesal karena kebiasaan burukku menaruh barang sembarangan. Atau bahkan sekadar memencet pasta gigi dari tengah pun sudah membuatnya menghela napas berkali-kali. 2
Ya, begitulah kehidupan rumah tangga pada realitanya. Tidak semanis seperti dalam sebuah drama atau novel romantis, tapi kita bisa menaburkan gula alami dalam setiap bagian kisah kita.
Lalu, bagaimana menemukan gula alami itu?
Coba pahamilah bagaimana pasanganmu, bersyukurlah, kemudian rajut bahagia bersamanya. 7
Bahagia dengan cara sederhana. 7
Dengan cara kita. 2
End 14
***
Serius end? 4
Iya, end. 8
Emang udah masuk konflik? 1
Udah, dong. Coba baca ulang lagi. Karena sebenarnya tuh NaDM hanyalah kisah roman yang ringan, tapi diperberat oleh asumsi Lovita saja. 5
Dia hanya 'korban' novel-novel dengan alur yang mainstream. 😂 4
Lah, surat cintanya belum terjawab? 9
Kan, masih ada epilog dan satu extrapart yang akan pakai POV Arion. 😉 27
Tungguin, yak! 18