Semoga yang nunggu Abang Yoyon nggak sampai bisulen. 🤣🤣 21
Vote yang banyak, yaaaaaa.
Dijamin baper inih. Yahahaha.
***
“Ternyata tangan Abang kalau lagi genggam tanganku kayak gini kelihatan lebih item, ya? Padahal kulit Abang itu kuning langsat, bukan item.”
“Karena kulitmu memang lebih putih, kan?”
Sejak tadi hanya obrolan tidak penting seperti ini yang keluar dari mulutku ketika aku mengajak Arion duduk di ruang santai. Aku bukannya menanyakan soal pengakuan cinta yang barusan dikatakannya, malah berputar-putar tidak jelas seperti ini.
Aku hanya belum siap mendengar jawabannya. Aku takut jawabannya tidak sesuai dengan yang kuharapkan.
Padahal posisi duduk kami ini seperti dua sejoli yang saling mencintai. Kami duduk tanpa jarak dengan tangannya yang menggenggam jemariku. Sementara kepalaku bersandar manis di bahunya.
“Abang ....”
“Hm.”
Aku menarik napas pelan. Aku harus berani menanyakannya. Bagaimana pun jawabannya, aku tidak mau terkungkung dalam perasaan yang masih abu-abu seperti ini.
“Abang ....” Jantungku mulai berpacu lebih cepat. “Sebenernya ... Abang ... hm ... maksudku ... yang tadi Abang katakan, bener nggak, sih?” Suaraku memelan ketika berusaha mengeluarkan pertanyaan itu. Aku bahkan tidak berani memandangnya. Posisiku masih sama; tetap bersandar pada bahu bidangnya.
Arion sedikit bergerak untuk memandangku. “Yang tadi? Yang bagian mana, sih?”
Aku berdecak kesal. Benar, kan? Belum sejam mengatakannya, dia bahkan tidak mengingatnya lagi. Aku mengangkat kepalaku, lalu membalas tatapannya tajam. “Masa Abang nggak inget tadi bilang apa?”
Kening Arion mengernyit sebentar. Sejurus kemudian dia malah tertawa pelan. “Kalau menurutmu bagaimana?”
“Kenapa Abang malah balik nanya?” balasku dengan nada sewot. Aku paling tidak suka berbelit-belit seperti ini.
“Dari sikapku kepadamu seharusnya sudah menunjukkan semuanya, kan?”
“Ya, mana aku tahu kalau Abang nggak pernah bilang?”
Buatku, meski hanya sekali mengucapkannya, mengungkapkan perasaan pada pasangan—lebih-lebih yang sudah halal—itu adalah keharusan. Apalagi jika mengingat surat cinta yang pernah dikirimkannya pada Shenina saat masih SMA dulu. Andai dia tidak mengatakannya, bagaimana aku bisa tahu apa yang ada di hatinya?
“Jadi, selama ini kamu ngira aku hanya pura-pura?”
“Bukan gitu.”
“Terus?”
“Jadi ... bener? Abang cinta sama aku?”
“Memangnya yang tadi masih belum jelas?” 2
Aku mendengus kesal. Apa susahnya dia mengulang lagi mengatakan dia mencintaiku?
“Kalau gitu katakan sekali lagi!” tuntutku memasang wajah galak. Mumpung aku tahu bagaimana perasaannya, aku harus membuatnya menuruti permintaanku.
Dia memandangku sejenak. Lalu, mendesah pelan. “Kamu itu kebanyakan baca novel, Ta. Aku udah bilang, lebih baik kurangi bacaanmu yang begitu itu.” 9
“Aku nggak mau tahu. Abang bilang sekali lagi, baru aku percaya.” Susah payah aku berusaha menahan agar jangan sampai tertawa. Ternyata begini rasanya membuat seorang Arion tidak bisa berkutik lagi. Aku jadi menyesal, mengapa selama ini aku selalu berpikir dia tidak mencintaiku? Padahal, sikap dan perhatiannya kepadaku sebenarnya sudah menunjukkan dia menaruh rasa yang sama denganku.
Arion menghela napas panjang. Dia bukannya segera menjawab, malah meraih sesuatu di meja kecil samping sofa. Rupanya dia mengambil pulpen di sana.
“Mana tanganmu?”
“Abang mau bikinin rapor lagi buat aku?” 1
“Bukan. Sini!” Dia meraih tangan kananku. “Jangan bergerak, Ta, biar aku bisa nulis ini.”
Aku membiarkannya mencoret telapak tanganku. Entah apa yang ditulisnya, aku tidak mau melihatnya lebih dulu. Biar jadi kejutan untukku.
Ketika sudah selesai, aku menarik tanganku, lalu membacanya. Seketika mataku mengerjap beberapa kali. Mengetahui apa yang ditulis Arion, perlahan senyumku membuncah.
PIAGAM PENGHARGAAN 10
Diberikan kepada
LOVITA
Sebagai istri yang dicintai Arion.❤️ 3
“Udah, kan?”
Aku menoleh pada Arion. “Padahal Abang tinggal bilang doang.”
“Bukannya malah itu lebih berkesan?” 3
“Masa?”
Dia mendengus pelan. Lalu, tersenyum kecil.
Padahal dia tidak tahu saja jika hatiku terlampau berbunga-bunga karena pernyataan cinta yang tidak biasa ini. Aku pastikan netizens mungkin akan kejang-kejang jika aku sampai memotretnya, lalu mengunggahnya di Instagram. Tapi, tidak. Aku memilih menyimpannya di folder foto yang tidak sembarang orang boleh melihatnya. 3
Bagaimanapun, ini adalah penantianku sejak lama. Aku akan mengingat momen ini sampai kapan pun. Hari ini, pada jam, menit dan detik ini, perasaanku akhirnya bersambut.
Aku mencintainya.
Dan dia juga mencintaiku.
Bibirku semakin tersungging lebar ketika menyadari bukan hanya aku yang mencintai sendirian. Entah lebih besar siapa, aku tidak mempermasalahkan itu. Yang penting, dia menyambut hatiku dan tidak membiarkan perasaanku bertepuk sebelah tangan.
Senyumku memudar ketika bayangan Shenina yang membaca surat cinta dari Arion kembali berkelebat. Aku menatap Arion lama. Jujur, aku belum berani menanyakan soal itu kepadanya. Meski dia kini mencintaiku, sebagian hatiku rasanya tidak rela jika dia pernah menyukai Shenina.
“Ta-tapi, sejak kapan Abang mulai cinta sama aku?” Aku harus menanyakan itu agar aku tahu apakah surat cinta itu pernah dikirim Arion atau sekadar kehaluan Shenina. Jika mengingat bagaimana dia yang berani membohongiku saat itu, aku mulai meragukan jika surat itu benar-benar dikirim Arion untuk Shenina. 8
Aku menahan napas ketika alis Arion sedikit bertaut.
“Sejak kapan?”
Aku mengangguk cepat. Seolah tidak sabar dengan jawabannya.
Dia terlihat berpikir sejenak. Lalu, menggeleng pelan. “Entahlah.”
Bahuku terkulai karena jawabannya itu. Bagaimana dia sampai tidak tahu kapan dia mulai menyadari perasaannya? Kalau dia tidak tahu kapan tepatnya, aku jadi pesimis jika surat cinta itu hanyalah sekadar kebohongan yang dibuat Shenina. “Masa Abang nggak inget kira-kira kapan mulai menyadari perasaan Abang?”
Arion mengubah posisi duduknya menghadap ke arahku. Dia menatapku dalam. “Dengerin aku. Nggak penting kapan tepatnya aku mulai menyukaimu, karena yang terpenting bagiku adalah perasaanku saat ini.” 2
Iya, sih. Tapi, rasanya relung hatiku belum menerima jika Shenina pernah menjadi bagian dari masa lalunya. Ya, meskipun saat itu mungkin sekadar cinta monyet.
“Kalau kamu tanya, kenapa aku menikahimu? Aku menikahimu karena memang menginginkanmu.” Aku tertegun ketika dia tiba-tiba mengatakan itu. Kupikir dia mulai mencintaiku saat kami .... Pipiku mendadak terasa memanas ketika mengingat malam-malam di mana dia memperlakukanku seperti porselen berharga mahal. Rupanya alur kisah pernikahanku tidak seperti novel-novel bertema pasaran yang sering kubaca. 2
Bibirku tiba-tiba terangkat tipis. Saat ini, hatiku seolah menjelma selayaknya sayap-sayap burung Merak yang mengepak begitu elok nun sempurna. Dalam tiap-tiap kepakan sayap itu seakan terlukis ungkapan yang selama ini menjadi misteri untukku.
Dia menikahiku bukan karena perjodohan itu. Dia menikahiku karena benar-benar menginginkanku menjadi bagian dari hidupnya. “Aku boleh nanya sesuatu sama Abang?”
Ini kesempatanku bertanya kepadanya. Semuanya harus jelas sekarang. Aku tidak mau terkungkung dalam sebuah prasangka yang tidak akan baik untuk hubungan kami ke depan. 1
“Mau nanya soal apa lagi?”
Kupandangi manik mata Arion lekat-lekat. Aku menarik napas dalam, lalu membuangnya panjang. “Kenapa ... hm ... waktu penerimaan Award itu Abang nggak nyebut namaku?” 1
Kening Arion tampak mengernyit tipis. “Award? Award yang mana?” Sejurus kemudian dia sepertinya mengerti maksudku. Namun, yang terjadi bukannya dia segera menjawab malah tertawa pelan. Tawanya kalem sekali, tetapi cukup membuatku kesal sendiri.
“Aku serius nanya sama Abang,” sungutku sebal.
“Saat itu aku hanya bingung bagaimana harus menyebutmu.”
“Bingung? Maksudnya?”
Dia menghela napas panjang. “Hubungan kita waktu itu belum sebaik sekarang. Aku bingung bagaimana harus menyebutmu. Aku nggak mungkin menyebut namamu saja, padahal kamu istriku. Sementara kalau aku menyebut istriku, aku hanya ... hm .... belum terbiasa memanggilmu seperti itu, apalagi di depan orang banyak,” jelasnya seraya mengusap tengkuknya pelan. Dia tampak kikuk ketika mengatakannya.
Aku ternganga. Jadi dia tidak menyebut namaku karena bingung bagaimana harus memanggilku? Kenapa alasannya konyol sekali? Padahal aku sudah berpikir yang berlebihan sampai mendiamkannya hampir 24 jam.
Dia kembali menggenggam tanganku erat. Genggaman tangannya terasa hangat dan pas di tanganku. “Maafkan aku. Saat itu, kalau boleh jujur, aku jadi menyesal kenapa sekadar menyebut namamu saja, aku sampai kebingungan. Fatalnya, aku malah nggak menyebutmu sama sekali. Lalu, berakhir ... kamu mendiamkanku lagi,” ungkapnya yang diiringi kekehan pelan. 4
Aku masih tertegun. Pengakuannya ini benar-benar mengejutkanku.
“Kamu masih ingat sama rapor kedua yang kuberikan untukmu waktu itu?”
“Ra-rapor kedua?”
“Di rapor kedua itu aku menulis “istriku” di situ. Kamu masih ingat, kan?”
Aku mengangguk kecil. Tentu saja aku masih mengingatnya dengan jelas. Bagaimana aku bisa lupa ketika dia menulis “istriku” dalam rapor itu? Aku bahkan mengabadikannya dalam sebuah foto, lalu dua hari kemudian sengaja mengunggahnya di Instagram untuk memberi “santapan manis” pada netizens.
“Anggap saja saat itu, aku sedang berlatih menyebutmu ... istriku ....” 10
Meski Arion berusaha menutupi ekspresi wajahnya—seolah biasa-biasa saja, aku bisa menangkap ada aura canggung di balik air mukanya itu. Senyum geliku kembali terbit saat menyadari Arion yang duduk di sampingku saat ini bukan Arion, CEO KelasSeru yang begitu percaya diri berbicara di depan banyak orang. Dia hanya laki-laki biasa yang nyatanya sekadar menyebut “istriku” di depan umum saja jauh lebih rumit ketimbang menyelesaikan soal Matematika yang membuat pening kepala.
“Aku boleh nanya satu lagi sama Abang?”
Dia tersenyum simpul. “Kenapa banyak sekali pertanyaannya, sih?”
“Perasaan pertanyaanku cuman tiga.”
“Masa?”
Aku berdecih pelan, sementara dia hanya tertawa kecil.
“Malam itu ... kenapa Abang cuman diam aja waktu ditanya Ibu?”
Keningnya tampak berkerut. Dia seperti berusaha mengingat sesuatu. Sejurus kemudian dia kembali tertawa sekilas. “Aku sudah menduganya. Sepertinya kamu salah paham denganku.”
“Kalau tahu aku salah paham sama Abang kenapa Abang nggak jelasin sama aku?” tanyaku memasang wajah sebal. “Harusnya kita nggak diem-dieman sampai berhari-hari, kan?” 1
Dia menghela napas panjang. “Sejujurnya aku bingung bagaimana harus menghadapimu. Kamu terkadang seperti menyambutku. Tapi, terkadang kamu tiba-tiba memasang tembok tinggi-tinggi denganku. Aku tahu, aku bukan laki-laki romantis seperti dalam novel yang kamu baca. Jadi, yang bisa kulakukan hanyalah mengikuti kemauanmu.” 3
Aku tertegun dengan jawabannya ini. Kupikir, hanya aku yang berusaha untuk mengambil hatinya. Nyatanya aku salah. Justru akulah yang menjadi masalahnya. Aku terlalu banyak berasumsi dengannya, terutama alasan kenapa dia menikahiku. 1
“Kalau kamu tanya kenapa aku lama diam malam itu, sebenarnya aku malah memikirkanmu. Saat aku melamarmu, kamu terlihat murung waktu itu. Kamu seperti nggak bahagia jika aku menikahimu. Aku nggak tahu bagaimana perasaanmu, tapi aku menginginkanmu menjadi bagian hidupku. Jadi kupikir, perjodohan ini kuanggap sebagai jalan untukku agar kamu melihatku. Tapi, karena Nessa itu, aku jadi teringat kamu. Aku khawatir, kamu merasa terbebani dengan perjodohan orang tua kita. Apalagi kalau melihat bagaimana sikapmu yang terkadang membingunganku.” 9
Aku semakin terpaku.
Dia mengira aku terpaksa menerima pernikahan ini? Padahal, aku murung saat itu karena kupikir dia tidak punya pilihan lain selain harus menerima perjodohan ini.
Yang selalu ada di pikiranku, dia mencintai Shenina. Anggapanku bukannya tidak berdasar. Saat itu, kabar surat cinta yang dikirimkan Arion untuk Shenina itu langsung menyebar ke seantero sekolah. Setelah kabar surat cinta itu, aku sering melihat mereka makan bersama di kantin sekolah atau saat pergi ke perpustakaan. Ya, meskipun aku tahu, hampir semua kebersamaan mereka berdua selalu ada Ghandi di sana.
Keyakinanku semakin menguat ketika Shenina menyusul Arion kuliah di Singapura. Hanya mereka berdua yang kuliah di sana karena Ghandi memilih melanjutkan studi di Jogja. Terakhir, perempuan itu juga kerja di KelasSeru sejak pertama kali startup itu berdiri.
Siapa pun pasti akan berpikir sama sepertiku. Aku tidak tahu hubungan seperti apa di antara mereka. Aku tidak bisa menebaknya karena Arion tidak berterus terang kapan tepatnya dia mulai menyukaiku.
Aku mendesah pelan. Sepertinya kami memang harus saling terbuka agar tidak terjadi kesalahpahaman seperti ini. Bagaimana bisa dia mengira aku merasa terbebani karena menikah dengannya? Padahal, yang terjadi justru sebaliknya.
Selama ini, aku memang memilih menghindarinya. Sebelum kutahu surat cinta itu pun, kami tidak berteman dekat. Meski bertetangga dan selalu bersekolah yang sama dengannya, aku hanya bisa mengaguminya diam-diam karena menyadari perbedaan mencolok di antara kami. Kupikir orang seperti Arion tidak mungkin melihat gadis yang selalu disebut bodoh sepertiku. Sampai kutahu ternyata orang tua kami juga menjodohkan kami berdua setelah dua kakakku menikah dengan kakak Arion. Namun, aku harus membuang jauh perasaanku saat kutahu tentang surat cinta itu.
“Aku ... boleh nanya satu lagi sama Abang?” 3
“Ternyata banyak sekali yang kamu tanyakan, ya?” 2
Arion tertawa kecil. Sementara aku memasang wajah datar. Aku harus menanyakan soal surat cinta itu. Apa dia benar mengirimkannya untuk Shenina? Atau itu hanyalah kebohongan yang dibuat Shenina?
Tapi, apa aku siap dengan jawabannya? Bagaimana jika dia benar-benar mengirimkannya? Lalu, relakah hatiku jika di hatinya pernah ada Shenina di sana? 20
TBC
***
Oh, ya. Karena plagiator ada di mana-mana. Dan mereka kalau njiplak itu pinter banget, jadi sekarang saya harus pinter-pinter menyembunyikan beberapa bagian dalam part-part tertentu, ya. Termasuk di part ini. 5
Tapi, nggak usah khawatir karena akan sampai epilog. Twist-nya ada di part terakhir dan epilog, ya. 😉 20