Voments-nya, Man Teman. 😘😘
***
“Kamu ditolak sama dia?”
Aku ternganga saat Davina mengatakan jika laki-laki yang dijodohkan dengannya itu menolaknya. Dua hari lalu, dia bertemu laki-laki itu di kafe ini. Ibunya yang mengenalkannya. 6
Aku jelas heran jika laki-laki itu sampai menolak seorang Davina.
Davina itu cantik. Kulitnya putih bersih. Hidungnya mungil mancung. Matanya meneduhkan. Dan tubuhnya tinggi semampai.
Dia lulus menjadi dokter saat usianya menginjak 24 tahun. Selain pintar di bidang akademik, dia juga piawai memasak beragam jenis makanan. Karena hobinya itu, dia membuka kafe ini dua hari lalu. 2
“Nggak ada kata lain selain ditolak?” sewot Agni yang duduk di sampingku memandang kesal. “Menurutku, orang yang sampai nolak kita itu, dia hanya nggak beruntung ngedapetin kita.” 3
Aku terlongo. Ya, Agni dan tingkat kepedeannya yang melebihi rata-rata itu memang bertolak belakang denganku. Sebagai content creator untuk brand-brand besar, tak bisa kubayangkan jika dia mudah insecure sepertiku.
Agni mencomot friench fries yang berada di depannya. “Aku jadi penasaran sama cowok kurang beruntung itu.”
Aku belum tahu bagaimana rupa laki-laki itu. Davina hanya bercerita jika laki-laki itu menolak meneruskan perusahaan milik ayahnya. Dia malah memilih membuka restoran. Dan kini juga merangkap menjadi direktur di sebuah media Islami. 21
Davina mengibaskan tangannya. “Nggak penting bahas dia lagi.”
“Emang nggak penting. Males juga ngomongin dia.”
Aku memutar bola ke atas. Dia yang memulai, dia juga yang mengakhirinya. Ya, begitulah Agni Arundati. 2
Setelah empat hari hanya berdiam diri di dalam apartemen, aku baru keluar hari ini. Tempat pertama yang kukunjungi tentu saja kafe milik Davina. Saat pembukaan kafenya dua hari lalu, aku terpaksa tidak bisa datang karena Arion tidak bisa mengantar. Dia baru pulang pukul sembilan malam. Aku tidak mungkin keluar sendirian tanpa didampingi suamiku.
Aku ke kafe Davina bukan tanpa tujuan. Baju-baju dan hijab yang minta di-endorse sudah mengantre banyak sekali. Setelah aku menikah dengan Arion, olshop-olshop itu ramai-ramai menghubungiku. Mereka seakan tidak peduli dengan belasan ribu komentar julid dari para hater pada postinganku yang terakhir.
Meski aku di-bully karena menikah dengan Arion, anehnya, followers-ku justru melonjak tinggi. Sekarang saja follower sudah mencapai 120 ribu. Aku jadi tahu jawabannya kenapa artis-artis sensasional itu follower-nya justru sampai puluhan juta. Bisa jadi para hater itu memenuhi sebagiannya. 3
“Aku lebih penasaran sama si pengantin baru. Kira-kira ngapain aja dia selama empat hari kemarin.” Agni mengerling jenaka ke arahku.
Aku berdecak pelan. “Apa-apaan, sih.”
Meski bersahabat dekat dengan Agni dan Davina, aku tidak sepenuhnya terbuka dengan mereka. Selama ini mereka hanya tahu, aku dijodohkan dengan Arion karena orang tua kami bersahabat dekat. Mereka juga tahu dua kakakku menikah dengan dua kakak perempuan Arion. Hanya sebatas itu. Mereka tidak tahu bagaimana perasaan Arion kepadaku dan untuk siapa hati Arion terisi. 1
Aku mengalihkan pandangan. Mataku tertuju pada pintu masuk yang tertutup rapat. Pintunya yang terbuat dari kaca tembus pandang membuatku bisa melihat beberapa pengunjung yang hendak memasuki kafe ini. Sesosok laki-laki berkemeja kotak-kotak gelap tampak tergesa, lalu mendorong pintu cepat-cepat. Dia berhenti sebentar, mengedarkan pandangan. Saat matanya tertumbuk kepadaku, dia menghela napas. Lalu, berjalan mendekati meja kami.
“Sorry, Ta. Aku telat,” katanya setelah sampai di dekat meja kami. “Kamu sudah foto-foto?” Dia bertanya to the point seakan sudah tahu jawabannya saat melihat Agni duduk di sebelahku.
Ya, selama ini Agni dan Yuris yang menjadi juru foto saat aku endorse barang. Fotografer gratis tanpa dipungut biaya. Jika Agni suka malas-malasan kalau kumintai bantuan, Yuris justru sebaliknya. Dia sendiri yang menawarkan diri. Hanya saja, dia tidak setiap hari berada di Jakarta. Sebagai travel vlogger yang sudah memiliki setengah juta subscriber dia sering keluar kota. 5
Karena Yuris tidak kunjung datang, aku terpaksa menelepon Agni yang tengah bersantai di rumah. Aku memilih kafe Davina yang baru buka sebagai tempat foto. Banyak spot instagramable yang bisa kujadikan sebagai latar. Kafe dengan tanaman Strawberry tiruan yang memenuhi langit-langit hingga ke dinding ini pas sekali dengan baju muslim casual yang hendak ku-endorse.
“Aku haus.” Tiba-tiba saja Yuris sedikit mencondongkan tubuh, menyambar strawberry iced tea milik Agni, lalu meneguknya hingga tandas.
Aku dan Davina tercengang. Sementara Agni meluapkan kekesalannya dengan memarahi Yuris. Ini bukan kali pertama Yuris minum dari gelas yang sama dengan Agni. Mereka ini seperti kembar siam yang tidak akur, tapi saling berbagi.
Andai hubungan mereka bukan sepupu yang jadi saudara sepersusuan, aku yakin suami Agni akan cemburu melihat adegan ini.
Yuris melambaikan tangan pada pelayan kafe. Dia tampak tak menghiraukan omelan Agni. “Tolong bikinin satu lagi buat dia. Kalau aku cukup kopi hitam tanpa gula.”
Agni mendesis kesal. “Udah tahu seleranya cuman kopi pahit, ngapain kamu minum minumanku, sih?”
“Orang haus itu nggak mikirin minumannya apa, Nek. Tahu ada air, ya langsung minum,” jawab Yuris enteng, lalu duduk di meja seberang.
“Iya, tapi nggak sampai dihabiskan juga kali,” tangkis Agni masih kesal.
“Kan, sudah aku ganti sama yang baru.”
Saat aku melirik Agni, dia memutar bola matanya ke atas. Sudut bibirku berkedut. Ketika aku menatap Davina, dia tampak memasang wajah cool, padahal aku tahu dia berusaha menahan tawa.
Ya, begitulah Tom & Jerry ala Yuris dan Agni. Aku yakin, beberapa menit kemudian mereka akan baikan lagi. Siklus mereka memang seperti itu. Baikan-berdebat-marahan-baikan lagi.
“Hey, kenapa kamu duduk di situ? Kayak orang lagi musuhan aja.”
Nah, kan? Belum sampai lima menit, Agni meluapkan kekesalannya, dia sudah mulai mengajak baikan lagi. Seakan hilang ingatan jika strawberry iced tea-nya dihabiskan Yuris.
Laki-laki itu tak langsung menjawab. Dia mengeluarkan kamera DSLR dari dalam tas ransel. “Kalau aku ikut duduk di situ, mungkin orang akan menganggapku punya istri tiga,” ujar Yuris sekenanya. 2
Dan kalimat ceplas-ceplosnya itu sukses bikin kami memutar bola mata, mendengus kesal, lalu tertawa tanpa suara.
***
Enam malam sudah dilalui, dan dia masih saja memunggungiku.
Aku jadi penasaran, jika aku tidur menghadap kepadanya, apa dia akan mengikutiku?
Ini malam ketujuh. Aku sudah berbaring di ranjang, sementara dia masih berada di dalam kamar mandi. Sepertinya aku harus memberanikan diri tidur menghadap ke arahnya. Aku ingin tahu bagaimana posisi tidurnya setelah aku tak lagi memunggunginya. Jika dia tetap membelakangiku, itu artinya di memang tidak menginginkanku. 9
Aku buru-buru menarik selimut, lalu berbaring miring ke kanan. Mataku pura-pura terpejam.
Jantungku berdegup keras. Aku menahan napas saat ranjang di sisi kanan bergerak pelan. Meski tanpa melihat, aku bisa tahu Arion menyibak selimut, lalu berbaring tidur.
Kutelan ludah itu dalam-dalam. Aku tidak tahu apakah Arion memunggungiku atau dia tidur menghadapku.
Aku penasaran. Tapi, aku tak berani membuka mata. 1
Beberapa menit berlalu, dan penasaranku makin membumbung tinggi. Aku harus menuntaskan rasa penasaranku itu saat ini juga.
Ya, saat ini juga!
Dengan menarik napas pelan, lalu mengembuskan panjang, aku perlahan membuka mata.
Seketika aku tertegun.
Arion menatapku. Lengannya dilipat di bawah kepalanya. Dan dia terus memandangku. 11
Aku mengerjapkan mata. Dia tidak memunggungiku. Jarak kami mungkin hanya sebatas dua penggaris ukuran tiga puluh senti.
“Belum tidur?”
Arion memecah keheningan di antara kami.
Kenapa?
“Kenapa Abang hadap sini?” Aku balik bertanya. Lebih baik aku tak perlu membatinnya lagi. Ketimbang aku dibuat penasaran semalaman. 4
Arion tersenyum tipis. “Aku hanya mengikuti kemauanmu.” 16
Aku terpaku. Jadi dia akan ikut memunggungiku jika aku tidur memunggunginya? 4
“Berarti kalau tidur hadap sini, Abang akan mengikutiku?”
Arion terkekeh pelan. “Sudah kubilang, aku hanya mengikuti kemauanmu.”
Dia menutupi kuapan dengan sebelah tangannya yang bebas. “Aku ngantuk. Aku harus berangkat pagi-pagi, besok. Aku tidur dulu.” Matanya kemudian terpejam. “Jangan lupa doa,” katanya lagi tanpa membuka mata.
Aku termangu.
Ini makin membingungkan.
Jadi selama ini dia memunggungiku karena aku selalu tidur membelakanginya?
Kenapa? 5
Aku memandang lekat pada kelopak matanya yang terpejam. Dia mengikuti kemauanku. Apa itu artinya jika aku duluan yang memeluknya, dia akan balas memelukku?
Aku mendesis lirih. Kenapa juga aku yang harus memulai duluan? Bukankah jika dia memang menginginkanku, dia yang lebih dulu memulainya? Sebagai laki-laki sejati, seharusnya begitu, bukan? 11
Jika dia hanya menunggu aku yang memulai duluan, itu artinya?
Dan sampai aku terbangun pagi pun, Arion tetap tidur menghadapku. Berjarak dua penggaris ukuran tiga puluh senti. Tak ada adegan suami istri saling terkejut karena mereka terbangun dalam posisi saling berpelukan. Apalagi adegan yang ... itu. 1
Aku menghela napas pelan. Lalu, membalikkan badan, menatap kosong pada langit-langit kamar yang membisu dipoles cahaya temaram.
Tbc
***
Karena sibuk banget, update nggak terjadwal, ya. Tapi diusahakan seminggu sekali update. 😂😂 1
Tuh, Arion udah tidur ngadep Lovita. Lovitanya yang minta digetok kepalanya. 😂 1
Oh, ya. Saya mau ada acara di Gramed Solo. Ada yang mau ikutan? Silakan daftar dulu, ya. Link ada di bio Instagram saya @isnaini.ibiz 10
Sampai ketemu di sana. 😂😂😂