Empat Belas (1) Not a Dreaming Marriage (Completed)

Sedekah vote-nya, Gaes. 😘😘

***

Mataku perlahan membuka. Masih terasa berat. Seolah belitan kantuk ini enggan dilepaskan begitu saja.

Aku berusaha mengerjapkan mata, lalu kembali mengulanginya lagi. Lagi dan lagi. Simpul-simpul kantuk itu perlahan mulai melonggar.

Aku berusaha bangkit, namun gerakanku tertahan sesuatu. Saat kulirik ke bawah, sebuah tangan kukuh itu merangkul pinggangku erat.

Aku menghela napas pelan. Meski aku tidur memunggunginya, dia selalu memelukku seperti ini. Bahkan, sebelah tangannya yang lain akan dijadikan bantal untukku. 1

Setelah tahu bagaimana laki-laki ini cemburu dengan Yuris, seharusnya aku tidak tidur membelakangi lagi. Namun, bukannya menghadap kepadanya, aku malah bergeming pada posisi yang sama. Jujur, aku bingung bagaimana harus memulai bersikap seperti biasa setelah beberapa hari terbiasa memunggunginya.

Sampai hari ini dia juga tidak  bertanya kenapa aku berubah. Andaikan dia tidak pasif seperti ini mungkin akan mudah bagi kami untuk berbaikan dan kembali seperti saat hubungan kami sedang hangat-hangatnya. 1

Lalu, apa aku yang harus memulainya lagi? Aku harus mengungkapkan sesuatu yang mengganjal di hatiku lebih dulu, baru dia mengerti. Bukankah sebagai suami, seharusnya dia lebih peka dengan perubahan istrinya? 9

Aku mendesah panjang. Seharusnya aku bisa memahami bagaimana karakternya. Namun, saat ini, egoku lebih mendominasi. Apalagi ketika mengingat dia hanya terdiam saat ditanya Ibu malam itu.

Aku sedikit mengangkat kepalaku. Dengan hati-hati, aku menggeser rangkulan tangannya. Setelah memastikan dia tetap bergeming dalam lelapnya, aku berusaha bangkit untuk duduk.

Kupandangi wajah pulas itu dalam diam. Andai dia mengungkapkan bagaimana perasaannya kepadaku, mungkin aku tidak sampai menduga-duga tak jelas seperti ini. Andaikan bertanya sekalipun, hatiku mungkin belum siap jika jawabannya ternyata bertolak belakang dengan keinginanku. 2

Aku kembali menghela napas panjang. Kusibak pelan bedcover, lalu turun dari ranjang. Ketika hendak berdiri, kulirik jam beker. Ternyata baru pukul setengah sebelas malam. Kupikir sudah lewat tengah malam. Aku tadi memang tidur lebih awal ketimbang Arion yang masih berada di ruang kerjanya. Entah jam berapa dia menyusulku.

Langkahku berhenti saat hendak berbelok menuju pantry. Tirai di pintu yang mengarah ke balkon bergerak-gerak pelan ditiup angin.

Keningku mengernyit. “Apa mungkin pintunya belum ditutup?” gumamku bertanya sendiri.

Saat kudekati, ternyata benar. Pintu belum terkunci dan masih terbuka sedikit.

Heran. Biasanya soal ini, Arion selalu teliti. Aku boleh saja sering kelupaan dan begitu ceroboh. Namun, tidak dengan laki-laki itu.

Lalu, kenapa dia sampai lupa mengunci pintu? Entahlah.

Saat hendak kututup, dari celahnya aku bisa melihat lautan gemintang yang berkerlip indah di luar sana. Aku seketika terpana. Sepertinya akan sangat mengasyikkan jika aku keluar sebentar untuk memandangi bintang-bintang yang menghiasi angkasa malam ini.

Dan yang kulakukan sekarang, bukannya menutup pintu, kakiku malah bergerak menuju kamar. Mengambil kardigan, hijab instan dan juga mengenakan rok plisket. Tidak lupa, ponsel mengisi kantong kardigan, lalu kembali beringsut menuju balkon. 

Bibirku terkembang sempurna ketika menatap langit kelam yang bertabur bintang-bintang. Malam ini, sinar rembulan hanya muncul membentuk bulan sabit. Langit pekat yang tidak tertutupi awan mendung itu membuat kerlipan bintang terlihat semakin jelas.

[EXTRACT]

Jika diperhatikan, titik-titik dengan pendar kuning itu akan membentuk formasi tertentu. Di antara puluhan rasi bintang yang ada, hanya satu yang kuingat.

O-ri-on. 1

Aku tersenyum tipis ketika mengejanya dalam hati. Nama itu mirip dengan Arion. Namun, aku tidak yakin jika nama Arion diambil dari nama rasi bintang. Karena Orion yang kutahu berarti sang pemburu. Jika melihat bagaimana karakter laki-laki itu, sang pemburu sepertinya tidak cocok dengannya.

Ponselku bergetar. Tanpa pikir panjang, aku merogoh benda segi empat itu dari kantong kardigan. Layar ponsel yang masih menyala itu menunjukkan pop up chat dari seseorang.

Alisku bertaut ketika mengetahui siapa nama si pengirim pesan. Kenapa dia mengirim pesan saat malam sudah selarut ini?

Ponselku bergetar lagi. Tanpa pikir panjang, segera kugeser layar untuk membaca lebih jelas.

Bocah Tengil : Ding dongBocah Tengil : Apa Vita Jelly ada di situ?

Aku tidak mengerti maksud pesannya. Di situ? Maksudnya di balkon? Dari mana dia tahu aku ada di sini?

Ponselku lagi-lagi bergetar.

Bocah Tengil : Aku tahu kamu ada di situ. Bocah Tengil : coba tengok ke kanan.

Aku semakin tidak mengerti apa maksudnya. Tengok ke kanan?

Mataku seketika melebar ketika menyadari sesuatu. Spontan kucondongkan badan ke depan, lalu menoleh ke kanan. Aku semakin membeliak saat tahu seseorang yang berdiri di balkon apartemen sebelah itu ikut melongok ke arahku. Laki-laki tengil itu melambaikan tangan diiringi seringaian lebar. 4

“Kamu?! Kenapa kamu bisa ada di situ?” sergahku kemudian.

Balkon apartemen ini tidak terletak menjorok ke depan. Letak balkon sejajar dengan dinding apartemen. Aku sampai harus berpegangan kuat pada pagar pembatas saat melongok ke kanan.

Kudengar laki-laki itu mendesis panjang. “Jadi begini sambutanmu pada tetangga baru?”

“A-apa?”

Tetangga baru?

Aku tercengang ketika otakku mulai mencerna maksud tetangga baru itu.

“Jangan bilang kamu ...?” Aku tidak mampu melanjutkan lagi karena laki-laki itu malah tersenyum miring.

“Seperti yang kubilang tadi pagi, kan? Per-ma-i-nan!” Laki-laki itu sengaja mengejanya untuk memperjelas kenapa dia bisa berada di unit sebelah. 1

“Tapi, gimana kamu bisa secepat itu pindah ke situ?”

Aku tahu, apartemen sebelah itu memang sudah lama disewakan. Kata Arion, pemiliknya diketahui tiba-tiba meninggal sepulang dari Raja Ampat. Kematiannya baru diketahui dua hari kemudian. Menurut pihak kepolisian, tidak ditemukan adanya tanda kekerasan saat dilakukan autopsi. Namun, karena kematiannya itu, tidak ada yang berani menyewa apartemen itu. 1

Aku tidak heran jika orang seperti Yuris menjadi pengecualian. Dia tidak akan takut dengan hal-hal seperti itu. Yang kuherankan, kenapa dia bisa secepat itu pindah ke sini?

“Apartemen ini milik almarhum temanku asal kamu tahu. Sebelum kalian menikah, aku beberapa kali pernah nginap di sini.”

Yuris seperti mengerti apa yang kupikirkan barusan.

Jadi, karena itu, dia bisa ada di sini? Pantas saja Arion dan Yuris seperti sudah mengenal, meski air muka mereka sama sekali tidak bersahabat.

“Ta, apa kamu di situ?” 3

Aku terlonjak saat suara yang lain mengejutkanku.

Ketika aku berbalik, Arion sudah berdiri di sebelah pintu yang terbuka setengah. Wajah laki-laki itu tampak kusut khas orang bangun tidur dengan rambut berantakan.

“A-Abang kenapa bangun?” tanyaku gugup. Apa dia mendengarku saat berbicara dengan Yuris tadi?

Dia tersenyum tipis, lalu berjalan mendekatiku. “Kamu nggak ada, makanya aku bangun.” 3

Aku terpaku dengan jawabannya. Hal-hal seperti inilah yang terkadang semakin membingunganku. Dia seolah seperti mencintaiku. Jika tidak mengingat malam itu, hatiku mungkin sudah melumer seperti cokelat yang dilelehkan. 1

“Tadi, aku kayak denger kamu ngomong. Memangnya ngomong sama siapa?”

Aku sedikit terenyak. Lalu, buru-buru menutupi keterkejutanku. “Ngo-ngomong? Sa-sama siapa?” Aku malah balik bertanya gugup. Sadar apa yang harus kulakukan untuk mengalihkan perhatiannya, aku cepat-cepat menunjuk ke atas langit. “Bintangnya indah,” tunjukku tepat terarah pada bintang yang paling terang.

Arah pandang Arion mengikuti bintang yang kutunjuk. Diam-diam aku sedikit melongokkan kepala, lalu menoleh ke kanan. Bocah tengil itu ternyata sudah tidak ada di balkon lagi. Sepelan mungkin—agar tidak sampai didengar Arion—aku mengembuskan napas lega.

“Kamu suka lihat bintang?”

Aku sedikit tersentak. Lagi-lagi suaranya mengejutkanku. Padahal dia bertanya dengan nada pelan. Mungkin karena aku khawatir jika dia tahu keberadaan Yuris di unit sebelah. 3

Aku tersenyum kikuk. “Hm ... kupikir semua orang pasti suka ngelihat bintang.”

Dia mengangguk. “Sepertinya juga begitu,” katanya seraya mengulas senyum yang tipis.

Dia kembali mengalihkan pandangan pada gugusan gemintang. Sementara aku malah menekuri lampu-lampu mobil yang masih tampak menyemut di bawah sana. 

“Apalagi ... kalau ada seseorang di samping kita.” 2

Aku seketika membeku ketika Arion tiba-tiba mengatakan itu. Se-seorang? Apa ... maksudnya ... adalah aku?

Dengan gerakan perlahan, kepalaku menoleh kepadanya.

Arion masih bergeming pada posisi yang sama. Tatapannya terkunci pada titik-titik bintang itu tanpa beralih membalas tatapanku.

Andaikan dia memperjelas siapa seseorang itu dengan memperbaiki struktur kalimatnya—sehingga aku lebih mudah memahami, mungkin aku tak perlu bertanya-tanya lagi. Saat ini, dia seolah tengah memintaku mengerjakan teka-teki silang, sementara otakku tak cukup mampu mengetahui jawabannya.

Atau jika tidak, aku mungkin tak perlu penjelasan lagi ketika dia mengatakan itu sembari menatapku lekat sambil menggenggam jemariku erat. Tanpa memperjelas pun aku akan tahu maksud di baliknya.

Bahwa dia bahagia melihat bintang-bintang di langit kelam, apalagi ada aku yang berada di sisinya.

Meski tidak mengatakan cinta, itu artinya dia menganggapku berarti dalam hidupnya, bukan?

Namun, sekian detik aku menunggu, dia tidak juga menyambut tatapanku. Dia seolah membiarkanku mengartikan sendiri, padahal otakku terbiasa membutuhkan bantuan kalkulator untuk memecahkan jawabannya.

Ah, andai dalamnya hati seseorang bisa dicari di mesin pencarian google. 4

Tbc

***

Mau tahu Arion artinya apa?

Arion itu artinya mempesona, memikat hati. 1

Coba kalau Lovita tahu artinya. 😌 2

Langsung geser lagi ke bawah, ya karena ada lanjutannya. 😉

[EXTRACT]
💗💗💗
[EXTRACT]
Boleh d coba cari d mbah google

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Wait :

Below Post Ad