The Dusty Sneakers - Maesy Ang, Teddy W. Kusuma
The Dusty Sneakers: Kisah Kawan di Ujung Sana
Sore itu, saat Jakarta baru saja hujan, koper-koper besar telah terisi penuh. Sahabat saya itu benar-benar telah siap berangkat. Perasaan kami menjadi sedikit melankolis. Tentu kami bergembira akan keberangkatannya ke Eropa, tetapi perpisahan untuk waktu yang lama membuat kami bersedih juga.
Sore itu, saat Jakarta baru saja hujan, koper-koper besar telah terisi penuh. Sahabat saya itu benar-benar telah siap berangkat. Perasaan kami menjadi sedikit melankolis. Tentu kami bergembira akan keberangkatannya ke Eropa, tetapi perpisahan untuk waktu yang lama membuat kami bersedih juga.
“Surel dariku akan menghujanimu!”
“Kita akan berkontak lewat Skype!”
“Aku akan menyusulmu ke sana!”
“Tentu saja kau akan menyusulku, tinggal naik Kopaja!”
Kami pun terkikik-kikik.
“Kita akan berkontak lewat Skype!”
“Aku akan menyusulmu ke sana!”
“Tentu saja kau akan menyusulku, tinggal naik Kopaja!”
Kami pun terkikik-kikik.
“Tuliskanlah untukku kisah-kisah perjalananmu di sana. Ceritakanlah tentang bunga tulip, tentang jalan yang dilalui Jesse dan Celine di film Before Sunset, atau tentang rumah para vampire di Rumania,” pinta saya.
“Tuliskanlah juga kepadaku kisah-kisah petualanganmu. Tentang senja-senja terbaik yang kau lihat, juga tentang kawanmu yang ganjil itu, si Arip Syaman,” pintanya.
The Dusty Sneakers pun dimulai. Lewat kata, Gypsytoes dan Twosocks berusaha memaknai setiap perjalanan, dan tentu saja, menjembatani jarak yang jauh di antara mereka.
Catatan dari Paris yang bercahaya menyapa renungan di titik nol di Merauke. Pekat malam puncak Merapi larut bersama sudut misterius Kota Praha. Siprus yang berwarna biru mengisi wajah Bali yang murung sebelah. Ini adalah kisah-kisah si gadis petualang kutu buku dan si pemuda melankolis yang terkadang jenaka. Kisah yang menggantikan bincang-bincang mereka di antara bercangkir-cangkir teh dan kopi, kisah kawan di ujung sana.
Baca Juga